Terima:
Fikih Praktis Shalat dan Puasa
- Shalat
- Shalat-Shalat Wajib
Shalat-Shalat Wajib
Masalah 1) Shalat-shalat wajib terdiri dari:
1. Shalat harian (yaumiyah);
2. Shalat Tawaf yang dilakukan setelah tawaf wajib Ka'bah;
3. Shalat ayat yang dilakukan pada saat gerhana matahari, gerhana bulan, gempa bumi, dan sejenisnya;
4. Shalat mayat, yang dikerjakan untuk seorang Muslim yang telah meninggal dunia;
5. Shalat qadha ayah dan menurut ihtiyat wajib juga untuk ibu, yang wajib bagi anak laki-laki tertua;
6. Shalat yang wajib dikerjakan karena perjanjian, nazar, sumpah, atau sewa.
* Pada dasarnya yang wajib adalah pelaksanaan nazar, perjanjian, sumpah, dan sewa, bukan karena shalat mustahab berubah menjadi shalat wajib.
- Shalat-shalat Harian
Shalat-shalat Harian
Masalah 2) Shalat harian (yaumiyah) adalah salah satu kewajiban terpenting dari syariat Islam, bahkan merupakan ruku’n agama dan tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun.
Masalah 3) Shalat-shalat wajib yaumiyah ini ada tujuh belas rakaat, yang terdiri dari:
Shalat Subuh (dua rakaat),
Shalat Dzuhur (empat rakaat),
Shalat Ashar (empat rakaat),
Shalat Maghrib (tiga rakaat),
Shalat Isya (empat rakaat).
- Waktu Shalat Subuh
Waktu Shalat Subuh
Masalah 4) Waktu shalat Subuh dimulai dari terbit fajar (Fajar Shadiq)* sampai terbit matahari.
* Fajar Shadiq adalah kebalikan dari fajar Kadzib dimana fajar Kadzib adalah cahaya yang muncul di langit beberapa saat sebelum fajar Shadiq dan alih-alih menyebar ke cakrawala, cahaya fajar ini justru memantul secara vertikal ke atas. Sementara fajar Shadiq adalah waktu ketika cahaya putih yang terhubung ke permukaan cakrawala naik dengan kecerahan rendah dan menyebar di cakrawala, dan seiring berjalannya waktu, intensitas cahayanya meningkat. Karena kelemahan Fajar Sadiq, maka menyaksikannya membutuhkan ufuk timur yang benar-benar terbuka dan gelap, dimana hal ini sangat sulit dilihat di dalam kota. Karena sulit untuk mendeteksi fajar ini secara akurat, maka hendaknya ihtiyat (berhati-hati) selama beberapa menit.
Masalah 5) Dalam realisasi terbitnya fajar (awal waktu shalat subuh), tidak ada perbedaan antara malam terang bulan dan malam tidak terang bulan, akan tetapi lebih baik bagi yang hendak shalat pada malam terang bulan untuk menunggu sampai fajar menyingsing dari terangnya cahaya bulan, baru kemudian melakukan shalat.
- Waktu Shalat Dhuhur dan Ashar
Waktu Shalat Dhuhur dan Ashar
Masalah 6) Waktu shalat Dzuhur adalah dari awal Dzuhur (matahari tergelincir)* sampai waktu yang tersisa hingga matahari terbenam hanya seukuran untuk shalat Ashar.
* Saat matahari terbit dari timur, bayangan benda-benda akan memanjang ke arah barat, dimana ketika matahari semakin tinggi maka bayangannya pun akan semakin pendek, hingga matahari berada di tengah langit; pada saat ini, jika matahari bersinar secara vertikal, maka bayangan akan menghilang, akan tetapi jika bersinar dengan sedikit miring maka bayangan pendek akan tetap berada di sisi utara atau selatan. Setelah matahari miring ke barat, bayang-bayang yang telah menghilang akan muncul di bagian timur, atau jika ada yang tersisa maka bayangan ini akan bertambah di bagian timur dimana inilah waktu shalat Dzuhur. Demikian juga, setengah jarak antara terbit dan terbenamnya matahari merupakan waktu Dzuhur syar’i.
Masalah 7) Waktu shalat Ashar dimulai dari awal Dzuhur setelah terlewati waktu seukuran shalat Dzuhur, hingga matahari terbenam.
Masalah 8) Shalat Dzuhur dan Ashar masing-masing memiliki waktu khusus dan umum (gabungan); waktu khusus shalat Dzuhur adalah dari awal Dzuhur hingga waktu seukuran untuk shalat Dzuhur, dan waktu khusus shalat Ashar adalah ketika waktu yang tersisa hingga terbenamnya matahari hanya seukuran untuk melaksanakan shalat Ashar, dan selang waktu antara waktu khusus shalat Dzuhur dan waktu khusus shalat Ashar merupakan waktu gabungan shalat Dzuhur dan shalat Ashar.
Masalah 9) Jika mukallaf hingga waktu khusus shalat Ashar belum melaksanakan shalat Dzuhur, maka shalat Dzuhurnya menjadi qadha dan ia wajib melaksanakan shalat Ashar pada waktu itu.
- Waktu Shalat Maghrib dan Shalat Isya
Waktu Shalat Maghrib dan Shalat Isya
Masalah 10) Waktu shalat Maghrib dimulai sejak menghilangnya mega merah di langit sebelah timur (yang terlihat setelah matahari terbenam) hingga waktu yang tersisa hingga tengah malam hanya seukuran untuk shalat Isya.
Masalah 11) Waktu shalat Isya terhitung sejak lewatnya seukuran waktu melaksanakan shalat Maghrib dari awal Maghrib hingga tengah malam.
Masalah 12) Tengah malam (untuk shalat Maghrib dan Isya) adalah setengah waktu antara matahari terbenam hingga fajar shadiq.
Masalah 13) Shalat Maghrib dan Isya masing-masing memiliki waktu khusus dan umum (gabungan); waktu khusus shalat Maghrib adalah dari awal Maghrib sampai berlalunya waktu untuk melaksanakan tiga rakaat shalat Maghrib, sedangkan waktu khusus shalat Isya adalah bila masih ada cukup waktu untuk shalat Isya hingga tengah malam, dan jeda waktu antara waktu khusus shalat Maghrib dan waktu khusus shalat Isya adalah waktu umum (gabungan) shalat Maghrib dan shalat Isya.
Masalah 14) Jika mukallaf belum melaksanakan shalat Maghrib hingga tiba waktu khusus shalat Isya, maka ia wajib melaksanakan shalat Isya terlebih dahulu baru kemudian menunaikan shalat Maghrib.
Masalah 15) Jika seseorang tidak melaksanakan shalat Maghrib atau Isya hingga tengah malam karena maksiat (sengaja. penj) atau karena uzur, maka berdasarkan ihtiyat wajib (kehati-hatian wajib), ia harus melakukannya hingga sebelum adzan Subuh tanpa niat ada ataupun qadha (melainkan dengan niat ma fi dzimmah).
- Hukum-hukum Waktu Shalat
Hukum-hukum Waktu Shalat
Masalah 16) Sunnah bagi seseorang untuk menunaikan shalat di awal waktu, terdapat perintah yang kuat terkait masalah ini dalam aturan-aturan Islam, dan jika ia tidak bisa mengerjakan shalat di awal waktu, maka semakin dekat dengan awal waktu akan semakin baik, kecuali jika penundaannya dikarenakan sesuatu yang lebih baik, misalnya karena ingin menunaikannya secara berjamaah.
Masalah 17) Untuk menentukan waktu shalat lima waktu (bahkan di daerah yang dekat dengan kutub), tetap harus memperhatikan dan berdasarkan ufuk tempat tinggalnya.
Masalah 18) Untuk melaksanakan shalat, mukallaf harus yakin atau merasa mantap (itmi’nan) bahwa waktunya telah masuk, atau dua orang adil mengumumkan bahwa waktunya telah masuk, atau seorang muazin yang terpercaya dan tepat waktu telah mengumandangkan adzan.
Masalah 19) Jika seseorang yakin bahwa waktu shalat telah masuk kemudian melakukan shalat, dan di pertengahan shalat ia ragu apakah waktunya telah masuk ataukah belum, maka shalatnya batal, tetapi jika di pertengahan shalat ia yakin waktunya sudah masuk lalu ragu apakah bagian dari shalat yang telah dikerjakannya sudah masuk waktunya ataukah belum, maka shalatnya dianggap sah.
Masalah 20) Jika mukallaf merasa mantap (itmi’nan) tentang masuknya waktu syar’i melalui pengumuman yang disampaikan oleh media massa dan sejenisnya, maka ia boleh mengerjakan shalat.
Masalah 21) Ketika mukallaf telah yakin bahwa waktu shalat telah tiba dengan dimulainya adzan, maka ia boleh menunaikan ibadah shalat tanpa harus menunggu adzan berakhir.*
* Tentunya seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terkait shalat Subuh, untuk menjaga ihtiyat (kehati-hatian) harus dilakukan sekitar sepuluh menit setelah dimulainya adzan.
Masalah 22) Jika penagih hutang meminta piutangnya pada waktu shalat, dan seseorang memiliki kemampuan untuk membayarnya, maka ia harus membayar hutangnya terlebih dahulu kemudian menunaikan shalat, demikian juga ketika ada tugas penting lainnya yang mendesak. Tentu saja, jika waktu shalatnya sempit, maka ia harus menunaikan shalat terlebih dahulu.
Masalah 23) Jika waktu shalat sangat sempit sehingga ketika melakukan sebagian dari hal-hal yang sunnah dalam shalat akan menyebabkan sebagian shalat dilakukan di luar waktu, maka hal-hal yang sunnah tersebut tidak boleh dikerjakan; misalnya, jika dengan membaca Qunut, sebagian dari shalat dikerjakan di luar waktu, maka tidak boleh membaca Qunut.
Masalah 24) Seseorang yang mempunyai waktu yang cukup untuk melaksanakan shalat satu rakaat, hendaknya shalat tersebut dilakukan dengan niat shalat ada, tetapi ia tidak boleh sengaja menunda shalatnya sampai waktu itu.
Masalah 25) Jika waktu hingga matahari terbenam cukup untuk melakukan lima rekaat shalat, maka shalat Dzuhur dan Ashar harus dilakukan, namun jika waktunya kurang dari itu, maka hanya shalat Ashar yang dilakukan dan shalat Dzuhurnya menjadi qadha; demikian juga jika waktu hingga tengah malam cukup untuk melakukan lima rekaat shalat, maka shalat Maghrib dan juga shalat Isya harus dilakukan; namun jika waktunya kurang dari itu maka harus melakukan shalat Isya terlebih dahulu, setelah itu baru shalat Maghrib, dan berdasarkan Ihtiyat wajib, tidak melakukannya dengan niat ada maupun qadha, tetapi dengan niat ma fi dzimmah.
Masalah 26) Jika hingga matahari terbenam, seorang musafir memiliki waktu yang cukup untuk melakukan tiga rekaat shalat, maka ia harus melakukan shalat Dzuhur dan Ashar, dan jika ia memiliki sedikit waktu, maka hanya shalat Ashar saja dan shalat Dzuhurnya dilakukan dengan niat qadha, demikian juga jika sampai tengah malam ia memiliki waktu yang cukup untuk melakukan shalat empat rakaat, maka ia harus menunaikan shalat Maghrib dan Isya, dan jika waktunya kurang dari itu, maka ia harus menunaikan shalat Isya terlebih dahulu baru kemudian berdasarkan Ihtiyat Wajib menunaikan shalat Maghrib tanpa niat ada dan qadha (melainkan dengan niat ma fi dzimmah) dan jika setelah menunaikan shalat Isya ternyata masih ada waktu untuk satu rakaat atau lebih yang tersisa hingga tengah malam, maka hendaknya segera menunaikan shalat Maghrib dengan niat ada.
- Ketertiban Shalat
Ketertiban Shalat
Masalah 27) Shalat Ashar harus dilakukan setelah shalat Dzuhur dan shalat Isya setelah shalat Maghrib, dan jika sengaja menunaikannya tanpa urutan ini maka shalatnya tidak sah.
Masalah 28) Jika karena kesalahan atau kelalaian, seseorang menunaikan shalat Ashar sebelum shalat Dzuhur, atau shalat Isya sebelum shalat Maghrib, dan ia menyadarinya setelah shalat selesai, maka shalatnya sah.
Masalah 29) Jika seseorang memulai shalat Ashar dengan menyangka telah menunaikan shalat Dzuhur, lalu di pertengahan shalat menyadari bahwa ia belum shalat Dzuhur, jika ia berada pada waktu gabungan shalat Dzuhur dan Ashar, maka hendaknya ia segera mengubah niatnya ke shalat Dzuhur dan menyelesaikannya, setelah itu baru melaksanakan shalat Ashar; dan jika ia berada pada waktu khusus shalat Dzuhur, maka berdasarkan ihtiyat wajib, ia harus mengembalikan niatnya ke shalat Dzuhur lalu menyelesaikannya, tetapi kemudian ia juga harus menunaikan kedua shalat (Dzuhur dan Ashar) secara berurutan.
Masalah 30) Jika seseorang mengira telah menunaikan shalat Maghrib sehingga ia melakukan shalat Isya, dan seusai shalat ia menyadari telah melakukan kesalahan, jika itu berada di waktu gabungan shalat Maghrib dan Isya dan belum menunaikan rakaat keempat, maka ia harus mengubah niatnya ke shalat Maghrib, menyelesaikan shalatnya, baru kemudian melakukan shalat Isya, tetapi jika ia telah melakukan ruku’ rakaat keempat, maka berdasarkan ihtiyat ia harus menyelesaikan shalatnya, setelah itu melakukan shalat Maghrib dan Isya secara berurutan. Demikian juga, jika berada pada waktu khusus shalat Maghrib dan ia belum memasuki ruku’ rakaat keempat, maka ihtiyat wajib hendaknya mengubah niat ke shalat Maghrib dan menyelesaikanya, baru kemudian melakukan kedua shalat secara berurutan.
Masalah 31) Jika seseorang melakukan shalat dengan niat shalat Dzuhur kemudian di pertengahannya teringat bahwa ia telah menunaikan shalat Dzuhur, maka ia tidak bisa mengubah niatnya ke shalat Ashar, melainkan harus meninggalkannya lalu melakukan shalat Ashar. Sama halnya jika ia mengerjakan shalat Maghrib dan di pertengahan shalat menyadari bahwa ia telah melakukan shalat Maghrib.
- Shalat-shalat Sunnah atau Mustahab
Shalat-shalat Sunnah atau Mustahab
Masalah 32) Ada banyak shalat mustahab yang dianjurkan, di antaranya adalah shalat nafilah harian (sepanjang siang-malam), terutama shalat malam yang sangat dianjurkan.
Masalah 33) Shalat nafilah harian adalah shalat-shalat yang sunnah dilakukan di sepanjang siang dan malam. Ini merupakan shalat yang sangat penting untuk dilakukan dan disebutkan bahwa banyak pahala dan imbalan yang telah disediakan untuk itu.
Di antara shalat-shalat mustahab adalah: shalat malam, yang dilakukan mulai dari tengah malam dan setelahnya, memiliki keutamaan khusus dan unik di antara semua shalat sunnah. Shalat ini memiliki banyak khasiat spiritual dan sudah sepantasnya umat Islam memberikan perhatiannya terhadap masalah ini.
Masalah 34) Yang termasuk shalat-shalat sunnah/mustahab harian adalah:
1. Nafilah Dzuhur: dilakukan sebelum shalat Dzuhur sebanyak delapan rakaat (empat shalat dengan dua rakaat pada setiap shalatnya);2. Nafilah Ashar: dilakukan sebelum shalat Ashar sebanyak delapan rakaat (empat shalat dengan dua rakaat pada setiap shalatnya);
3. Nafilah Maghrib: dilakukan setelah shalat Maghrib sebanyak empat rakaat (dua shalat dengan masing-masing dua rakaat);
4. Nafilah Isya: dilakukan setelah shalat Isya sebanyak dua rakaat (dengan cara duduk);** Karena dua rakaat shalat nafilah Isya dengan duduk dihitung sebagai satu rakaat, maka jumlah keseluruhan shalat nafilah harian adalah tiga puluh empat rakaat (dua kali lipat jumlah rakaat shalat wajib).
5. Nafilah Subuh, dua rakaat sebelum shalat Subuh;
6. Nafilah Malam (shalat tahajjud), sebelas rakaat dari tengah malam hingga adzan Subuh; (lebih utama mengerjakannya di sepertiga malam terakhir, dan semakin dekat dengan fajar maka semakin besar keutamaannya).Masalah 35) Nafilah Dzuhur dan Ashar pada hari Jumat berjumlah dua puluh rakaat; yaitu ada penambahan empat rakaat pada nafilah shalat Dzuhur dan Ashar, keseluruhan 20 rakaat ini lebih utama dikerjakan sebelum tergelincir matahari, namun tidak masalah jika dilakukan setelah tergelincir hingga terbenam matahari.
Masalah 36) Jika nafilah shalat Dzuhur dan Ashar masih berada pada waktu nafilah*, tetapi dilakukan setelah shalat Dzuhur dan Ashar, maka secara ihtiyat wajib, harus dikerjakan tanpa niat ada atau qadha (melainkan dengan niat ma fi dzimmah).
* Waktu nafilah shalat Dzuhur adalah dari awal Dzuhur sampai ketika bayangan tiang yang ditemukan setelah Dhuhur berukuran dua per tujuhnya. Misalnya, jika panjang tiang adalah tujuh jengkal, maka bila ukuran bayangan yang ditemukan pada siang hari telah mencapai dua jengkal, maka itu merupakan akhir waktu nafilah Dzuhur. Sedangkan waktu nafilah Ashar adalah hingga ketika bayangan tiang yang dijumpai pada siang hari mencapai empat per tujuh bagiannya.
Masalah 37) Tata cara shalat malam adalah seperti berikut: pertama melakukan shalat sebanyak empat shalat dimana masing-masingnya dua rakaat dengan niat “shalat malam”, dikerjakan sama seperti shalat Subuh, setelah itu melakukan dua rakaat dengan niat “shalat Syafa” dilanjutkan dengan melakukan satu rakaat dengan niat “shalat witir” dimana dalam doa qunutnya mustahab untuk memohon pengampunan dan doa bagi orang-orang beriman dan memohon kepada Allah untuk mengabulkan segala hajat, sebagaimana disebutkan dalam buku-buku doa.
Masalah 38) Seorang musafir atau kaum muda yang merasa kesulitan untuk melaksanakan shalat malam pada waktunya, atau seseorang yang memiliki uzur seperti sudah tua atau sakit, dapat melaksanakan shalat malam sebelum tengah malam.
Masalah 39) Tidak wajib membaca surah dalam shalat nafilah, melainkan cukup membaca surah al-Fatihah di setiap rakaat, kendati disarankan dan mustahab untuk membaca surah.
Masalah 40) Shalat-shalat nafilah dilaksanakan per dua rakaat (kecuali shalat Witir yang hanya satu rakaat) dan semuanya bisa dikerjakan sambil duduk, meskipun lebih baik dan lebih utama jika dilakukan dengan berdiri, dan jika dilakukan dengan cara duduk, maka disunnahkan setiap dua rakaatnya dihitung satu rakaat, kecuali shalat wutairah (shalat nafilah Isya) yang secara ihtiyat dilakukan dengan duduk dan bukan dengan berdiri.
- Kiblat
Kiblat
Masalah 41) Mukallaf wajib menunaikan shalatnya menghadap ke arah Ka’bah, atau disebut "kiblat". Tentu saja, bagi mereka yang jauh dan tidak mungkin berhadapan langsung dengan yang sebenarnya, maka sekedar bisa dikatakan bahwa mereka menunaikan shalat menghadap ke arah kiblat, telah dianggap mencukupi.
Masalah 42) Shalat-shalat sunnah dapat dikerjakan dalam keadaan berjalan atau saat berkendara, dan dalam hal ini tidak perlu menghadap ke arah kiblat.
Masalah 43) Shalat ihtiyath, sujud, dan tasyahhud lupa harus dilakukan dengan menghadap kiblat, dan untuk sujud sahwi ihtiyath juga mustahab untuk menghadap ke arah kiblat.
Masalah 44) Orang yang melakukan shalat harus yakin dan atau merasa mantap (ithmi’nan) tentang arah kiblat, baik melalui penunjuk kiblat yang benar dan sah, melalui pancaran matahari* dan bintang (jika ia mengetahui penggunaannya) atau melalui cara lain, dan jika tidak yakin, maka ia harus mengerjakan shalatnya menghadap ke arah mana pun yang menurut dugaannya paling kuat; seperti dugaan yang didapat dari letak dan keberadaan mimbar masjid.
* Dikatakan bahwa pada tanggal 7 Khurdad dan 25 Tir pada saat Dhuhur ufuk Mekkah, matahari memancar secara vertikal tepat di atas Ka'bah sebagaimana sebuah tiang atau paku yang kita tancapkan tegak lurus di permukaan tanah, arah yang ditunjukkan oleh bayangan tiang pada waktu Dzuhur ufuk Mekkah ini merupakan arah yang berlawanan dengan arah kiblat (yaitu arah kiblat berada di sepanjang bayangan pada sisi tiang yang tidak ada bayangan). Jika ini bisa memberi rasa mantap (ithmi’nan) tentang arah kiblat, maka diperbolehkan untuk bertindak sesuai dengannya.
Masalah 45) Seseorang yang sama sekali tidak dapat menemukan arah kiblat dan juga tidak memiliki dugaan kuat ke suatu arah, maka berdasarkan ihtiyath wajib, ia harus shalat dengan menghadap ke empat arah, dan jika ia tidak memiliki waktu untuk melakukan empat shalat, maka ia harus melakukan shalat sebanyak waktu yang ia miliki.
Masalah 46) Jika seseorang membuat kesalahan tentang arah kiblat meskipun telah menyelidikinya, namun penyimpangan dari arah kiblat tidak sampai ke kanan atau kiri kiblat (sekitar 90 derajat), maka shalatnya sah dan jika ia menyadari kesalahan ini di pertengahan shalat, maka ia harus melanjutkan sisa shalatnya dengan menghadap ke arah kiblat dan tidak masalah apakah ada cukup waktu atau tidak.
Masalah 47) Seseorang yang tidak yakin dengan arah kiblat, maka pada sisa pekerjaan yang harus dilakukan dengan menghadap kiblat, seperti menyembelih hewan, dan lain-lain, harus ia lakukan sesuai dengan asumsi dan dugaannya, dan jika ia tidak memiliki dugaan tentang arah dan segala arah adalah sama baginya, maka ke arah manapun melakukannya, adalah benar dan sah.
- Pakaian dalam Shalat
- Syarat-syarat Tempat Shalat
- Hukum-hukum Masjid
Hukum-hukum Masjid
Masalah 115) Haram mengotori lantai, langit-langit, dinding, dan atap masjid, dan jika najis, maka wajib untuk segera mensucikannya.
Masalah 116) Mensucikan masjid hukumnya wajib kifayah* dimana tidak hanya wajib bagi orang yang menajisi masjid atau menyebabkannya najis, melainkan wajib bagi semua orang yang bisa mensucikannya.
* Wajib kifayah yang merupakan lawan dari wajib ‘aini, adalah suatu kewajiban yang pada awalnya ditujukan untuk setiap orang, tetapi ketika telah dilakukan oleh sebagian maka kewajiban tersebut akan gugur dari yang lain, namun jika tidak ada satu pun yang melakukannya maka semua orang akan berdosa; seperti mensucikan masjid dan mengurus jenazah. Sedangkan wajib ‘aini adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh semua mukallaf, seperti shalat, khumus, zakat dsb.
Masalah 117) Haram mengotori atau menajisi tempat suci para Imam as, dan jika najis dan kenajisannya dianggap penistaan maka wajib untuk membersihkan dan mensucikannya, dan jika tidak menodai kemuliaannya, maka membersihkan dan mensucikannya termasuk perbuatan baik.
Masalah 118) Dilarang menghias masjid dengan emas jika dianggap boros, dan jika tidak maka dianggap makruh.
Masalah 119) Wajib menghormati harkat dan martabat masjid serta menghindari perbuatan yang bertentangan dengan harkat dan martabatnya.
Masalah 120) Tidak ada masalah mengadakan kegiatan dan kelas-kelas pendidikan jika tidak bertentangan dengan martabat masjid atau mengganggu shalat jamaah dan orang-orang yang menunaikan shalat.
Masalah 121) Tidak diperbolehkan menghancurkan seluruh atau sebagian masjid, kecuali ada kepentingan yang tidak dapat dan tidak mungkin diabaikan.
Masalah 122) Mesjid yang dirampas atau dihancurkan dan dibangun bangunan lain sebagai gantinya atau bekas-bekasnya sebagai masjid menjadi hilang karena ditinggalkan dan juga tidak ada harapan untuk membangunnya kembali, maka hukum keharaman menajisinya menjadi tidak jelas, meskipun ihtiyat mustahab untuk tidak menajiskannya.
Masalah 123) Jika sebuah masjid runtuh di jalan dalam rencana pembangunan kota dan sebagian dihancurkan karena keadaan darurat dan tidak ada kemungkinan untuk kembali ke keadaan semula, maka ia tidak memiliki hukum syar’i sebuah masjid.
Masalah 124) Tidak boleh membangun museum atau perpustakaan dan sejenisnya di sudut halaman masjid jika hal tersebut bertentangan dengan kualitas wakaf halaman masjid, atau jika menyebabkan perubahan struktur masjid.
Masalah 125) Jika tempat bergerak dan tidak tetap seperti kendaraan diwakafkan sebagai masjid, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia dihukumi sebagai masjid dan hukum-hukum masjid berlaku untuknya.
Masalah 126) Sunnah hukumnya untuk membersihkan dan memakmurkan masjid, dan siapa pun yang ingin pergi ke masjid hendaklah memakai wangi-wangian, mengenakan pakaian yang bersih dan baik, menjaga agar sepatu atau kakinya tidak terkontaminasi oleh najis atau kotoran, pergi ke masjid lebih awal dari yang lain dan keluar dari masjid paling akhir, masuk dan keluar masjid dengan hati yang khusuk dan memperbanyak dzikir, menunaikan shalat dua rakaat dengan niat tahiyatul masjid saat memasuki masjid, tentunya sudah dianggap mencukupi jika melakukan shalat wajib atau shalat sunnah lain.
Masalah 127) Tidur di masjid hukumnya makruh.
Masalah 128) Musholla dan Husainiyah tidak memiliki hukum seperti masjid.
- Adzan dan Iqamah
Adzan dan Iqamah
Masalah 129) Disunnahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqamah sebelum shalat wajib yaumiyah, dan sunnah ini lebih ditekankan untuk shalat Subuh dan Maghrib; terutama shalat berjamaah, namun tidak ada keterangan tentang adzan dan iqamah untuk shalat wajib lainnya, seperti untuk shalat ayat.
Masalah 130) Adzan terdiri dari delapan belas kalimat, dengan urutan sebagai berikut:
اَللهُ اَکْبَرُ
“Allah Mahabesar” empat kali,
اَشْهَد اَنْ لا اِلهَ اِلاَّ اللهُ
“Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah” dua kali.
اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّداً (صلّ الله علیه و آله )رَسُولُ اللهِ
“Saya bersaksi bahwa Muhammad (saw) adalah utusan Allah” dua kali.
حَیَّ عَلَی الصَّلاةِ
“Marilah kita mengerjakan shalat” dua kali
حَیَّ عَلَی الفَلاحِ
“Marilah kita menuju kemenangan” dua kali,
حَیَّ عَلی خَیْرِ العَمَلِ
“Marilah kita menuju sebaik-baiknya amal” dua kali,
اَللهُ اَکْبَرُ
“Allah Mahabesar” dua kali,
لا اِلهَ اِلاَّ اللهُ
"Tidak ada Tuhan selain Allah" dua kali.
Sedangkan bacaan iqamah sama seperti bacaan adzan, dengan perbedaan: kalimat awal “Allahu Akbar” diucapkan dua kali, dan setelah mengucapkan “Hayya ‘ala khairil amal” mengucapkan dua kali “qad qamat al-shalah”, dan di akhiri dengan “la ilaha illallah” satu kali.
Masalah 131) Mengucapkan, «اَشْهَدُ اَنَّ عَلِیّاً وَلیُّ اللهِ» “Aku bersaksi bahwa Ali adalah Wali Allah” adalah baik dan penting sebagai semboyan Syiah, tetapi ini bukan bagian dari adzan dan iqamah sehingga harus diucapkan dengan niat dan maksud mutlak untuk kedekatan (qurbatan).
Masalah 132) Mengumandangkan adzan (untuk mengumumkan masuknya waktu shalat) dan pengulangannya oleh pendengar adalah sangat dianjurkan (sunnah muakkad).
Masalah 133) Tidak ada masalah mengeraskan adzan melalui pengeras suara dari masjid dan tempat lain untuk mengumumkan masuknya waktu shalat, tetapi tidak diperbolehkan mengeraskan bacaan ayat-ayat al-Qur'an, doa-doa, dan lain-lain, jika hal itu menyebabkan masalah dan mengganggu warga sekitar.
Masalah 134) Jika adzan dan iqamah untuk shalat jamaah telah dikumandangkan, maka jamaah shalat tidak perlu lagi mengucapkan adzan dan iqamah untuk shalatnya.
Masalah 135) Sunnah hukumnya berwudhu atau mandi dan berdiri menghadap kiblat saat adzan, meletakkan tangannya di samping telinga, meninggikan dan merendahkan suara serta memberikan jarak antara kalimat adzan dan tidak berbicara di sela-selanya.
Masalah 136) Sunnah hukumnya ketika mengucapkan iqamah, badan dalam keadaan tenang, mengatakannya lebih lambat dari adzan dan tidak menggabungkan kalimat satu dengan yang lain. Tapi antara kalimat-kalimat iqamah jangan diucapkan terlalu berjeda seperti yang dilakukan pada kalimat-kalimat adzan.
Masalah 137) Hendaklah antara adzan dan iqamah untuk duduk sejenak, atau sujud, atau membaca tasbih, diam sejenak, mengatakan sesuatu, berdoa, atau melakukan shalat dua rakaat.
- Kewajiban-kewajiban Shalat
- Qunut
Qunut
Masalah 306) Pada rakaat kedua dari semua shalat wajib dan shalat sunnah, setelah selesai membaca al-Fatihah dan surah dan sebelum ruku’ disunnahkan untuk mengangkat tangan dan berdoa, dan tindakan ini disebut qunut.
Masalah 307) Dalam shalat Jum'at, setiap rakaat memiliki qunut, yaitu sebelum ruku’ pada rakaat pertama, dan setelah ruku’ pada rakaat kedua.
Masalah 308) Pada shalat Idul Fitri dan Idul Qurban, rakaat pertama mempunyai lima qunut dan rakaat kedua empat qunut.
Masalah 309) Pada saat qunut bisa melafalkan dan membaca dzikir, doa, atau ayat apa pun dari al-Qur'an, dan bahkan bisa membaca satu shalawat atau «سُبْحَانَ اللهِ»; Subhanallah atau «بِسْمِ اللهِ» bismillah atau «بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحیمِ» bismillahirrahmanirrahim, tetapi lebih utama untuk membaca doa-doa yang terdapat dalam al-Qur'an, seperti: «رَبَّنا آتِنَا فِی الدُّنْیَا حَسَنَةً وَ فِی الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذابَ النَّار»; rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirah hasanah aaqina ‘adzabannar (Duhai Tuhan kami! Berikan kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jauhkan kami dari siksa neraka) atau zikir dan doa-doa yang diriwayatkan dari para Imam Maksum as, seperti dzikir,
لا اِلَهَ اِلاّ اللهُ الحَلِیمُ الکَرِیمُ، لا اِلهَ اِلاّ اللهُ العَلِیُّ العَظِیمُ، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَ رَبِّ الْاَرَضِینَ السَّبْعِ وَ مَا فِیهِنَّ وَ مَا بَیْنَهُنَّ وَ رَبِّ الْعَرْشِ العَظِیمِ وَ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالَمینَ
lailaha illallahul halimul Karim, lailaha illallahul ‘Aliyyul ‘Azhim, subhanallahi Rabbissamawati as-sab’i wa rabbil ardhin al-sab’i wama fihinnah wama bainahunna wa rabbil ‘arsyil ‘azhim walhamdu lillahi tabbil ‘alamin (Tiada tuhan selain Allah yang Maha Penyabar dan Pemurah, tiada tuhan selain Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung, Maha Suci Allah Tuhan langit yang tujuh dan Tuhan bumi yang tujuh, dan apa yang ada di dalamnya dan di antaranya, Tuhan Arasy yang Agung dan segala puji hanya untuk penguasa seluruh alam).
Masalah 310) Di dalam qunut diperbolehkan untuk berdoa, meminta pengampunan, dan meminta kebutuhan dalam bahasa Persia atau bahasa lain.
Masalah 311) Disunnahkan membaca doa qunut dengan suara keras, tetapi dalam shalat berjamaah, jika imam jamaah mendengar suara ma’mum maka kesunnahan ini tidak ada.
- Bacaan-bacaan Selepas Shalat (Ta’qibat)
Bacaan-bacaan Selepas Shalat (Ta’qibat)
Masalah 312) Setelah selesai shalat, disunnahkan agar mushalli berdoa, berdzikir atau membaca al-Qur'an, tindakan ini disebut ta’qib shalat dan lebih baik melakukannya sambil duduk menghadap kiblat dalam keadaan berwudhu, mandi, atau tayammum.
Masalah 313) Ta’qibat shalat tidak wajib dalam bahasa Arab, tetapi lebih baik dan lebih utama membaca doa dan zikir yang datang dari para Imam Ma’shum as, dan di antara yang terbaik adalah dzikir yang dikenal sebagai Tasbih Sayyidah Fatimah al-Zahra as, yang terdiri dari: 34 kali Allahu Akbar, 33 kali Alhamdulillah dan 33 kali Subhanallah. Dalam buku-buku doa, ada kutipan dengan tema bagus dan ungkapan indah dari para Imam Ma’shum as.
Masalah 314) Disunnahkan agar mushalli melakukan sujud syukur setelah selesai shalat; artinya, meletakkan dahinya di atas tanah tempat sujud dengan niat mensyukuri segala nikmat dan taufik serta keberhasilan dalam shalat, dan lebih utama mengucapkan tiga kali atau lebih, «شُکْراً لِلّه» ; syukran lillah (Aku bersyukur kepada Allah dengan sebenarnya).
- Terjemahan Shalat
Terjemahan Shalat
Masalah 315) Sudah selayaknya mushalli mengucapkan kata-kata dan dzikir-dzikir shalat dengan memperhatikan maknanya, dengan khusyuk dan kehadiran hati guna memanfaatkan kesempatan shalat untuk mensucikan jiwa dan mendekatkan hati kepada Allah yang Maha Agung dan Penyayang.
Masalah 316) Terjemahan surah al-Fatihah adalah sebagai berikut:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحیمِ; Bismillahirrahmanirrahim (Dengan nama Allah Yang rahmatNya meliputi seluruh manusia di dunia dan Maha Pemberi anugerah abadi khusus kepada orang-orang Mukmin.)
اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمینَ; alhamdu lillah rabbi al-‘alamin (segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam.)
اَلرَّحْمنِ الرَّحیمِ; ar-Rahman-i-Rahim (Yang Maha Rahman (pemurah kepada siapa pun di dunia) lagi Maha Penyayang (kasih sayang yang abadi khusus bagi orang-orang Mukmin).
مَالِکِ یَوْمِ الدِّینِ ; malik-i-yaum-i-d-din (Yang menguasai hari pembalasan (Kiamat).
اِیَّاکَ نَعْبُدُ وَ اِیَّاکَ نَسْتَعینُ; iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (Ya Allah), hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.)
اِهْدِنَا الصَّراطَ المُسْتَقِیمَ; ihdinashshirathal mustaqim (Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus.)
صِراطَ الَّذِیْنَ اَنْعَمْتَ عَلَیْهِمshirathalladzina an’amta ‘alaihim (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka (menanamkan cahaya pengetahuanMu pada hati mereka)
غَیْرِ المَغْضُوبِ عَلَیْهِمْ وَ لَاالضَّالِّینَ ; ghairil-maghdubi ‘alaihim wala al-dhallin (bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (artinya: setelah Engkau berikan nikmat besar kepada mereka, mereka tidak kufur dan tidak bermaksiat sehingga tidak menyebabkan kemurkaanMu dan ketersesatan mereka).
Masalah 317) Terjemah surah Tauhid adalah sebagai berikut:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِیمِ: قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ; bismillahirrahmanirrahim: qul huwallahu ahad (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang; Katakanlah: Dialah satu-satunya Tuhan.)
اَللهُ الصَّمَدُ ; Allahu al-shamad (Tuhan tidak membutuhkan dan setiap orang membutuhkan Dia.)
لَمْ یَلِدْ وَ لَمْ یُولَدْ ; lamyalid walm yulad (Dia tidak memiliki anak dan bukan anak siapa pun.)
وَ لَمْ یَکُنْ لَهُ کُفُواً اَحَدٌ ; walam yakun lahu kufwan ahad (Dan tidak ada seorangpun yang setara denganNya.)
Masalah 318) Terjemahan dzikir ruku’ dan sujud dan beberapa dzikir yang disunnahkan adalah:
سُبْحَانِ اللهِ ; subhanallah (Maha Suci Allah.)
سُبْحَانَ رَبِّیَ الْعَظیمِ وَ بِحَمْدِه ; subhanarabbiyal ‘azhim wa bihamdihi (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung dan dan aku memuji Dia.)
سُبْحانَ رَبِّیَ الْاَعْلی وَ بِحَمْدِهِ ; subhanarabbiyal a’la wa bihamdihi (Maha Suci Tuhanku, Yang Maha Tinggi, dan aku memuji Dia.)
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ; sami’allahu liman hamidah (Semoga inayah Allah diarahkan kepada orang yang memujiNya.)
اَسْتَغْفِرُ اللهَ رَبِّی وَ اَتُوبُ اِلَیْهِ ; astaghfirullaha Rabbi wa atubu ilaihi (Aku memohon ampunan kepada Allah yang adalah Tuhanku, dan aku bertaubat kepada-Nya.)
بِحَوْلِ اللهِ وَ قُوَّتِهِ اَقُومُ وَ اَقْعُدُ ; bihaulillahi aa quwwatihi aqumu wa aq’udu (Dengan kehendak Allah dan kekuatanNya saya bangun dan duduk.)
Masalah 319) Terjemahan doa qunut adalah sebagai berikut:
رَبَّنا آتِنا فِی الدُّنْیَا حَسَنَةً وَ فِی الْآخِرَةِ حَسَنَةً ; Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah (Wahai Tuhan kami! Berikanlah kebaikan di dunia ini kepada kami dan kebaikan di akhirat.)
وَ قِنَا عَذَابَ النَّار ; wa qina ‘adzabannar (dan jauhkanlah kami dari siksa neraka.)
لا اِلَهَ اِلاَّ اللهُ الحَلِیمُ الکَرِیمُ ; lailaha illallahul halimul Karim (Tidak ada tuhan selain Allah, Yang Maha Penyabar lagi Maha Pemurah.)
لا اِلَهَ اِلاَّ اللهُ العَلِیُّ العَظیمُ ; lailaha illallahul ‘sliyul al-‘szhim (Tidak ada tuhan selain Allah, yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.)
سُبْحانَ اللهِ رَبِّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ ; dubhanallah Rabbissamawati al-sab’i (Maha Suci Allah, Penguasa dan Tuhan Tujuh Langit.)
وَرَبِّ الاَرَضیْنَ السَّبْعِ ; wa Rabbil ardhina al-sab’i (Dan Tuhan tujuh bumi.)
وَمَا فِیْهِنَّ وَ مَا بَیْنَهُنَّ ; wama fihinnah wama bainahunna (Dan Tuhan semua yang ada di dalam mereka atau di antara mereka.)
وَ رَبِّ الْعَرْشِ الْعَظیمِ ; wa Rabbil ‘arsyil ‘azhim (Dan Tuhan Arsy yang Agung.)
وَ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِینَ ; wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin (Dan segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam.)
Masalah 320) Terjemahan Tasbihatul Arba’ah adalah:
سُبْحانَ اللهِ ; subhanallah (Maha Suci Allah.)
وَالحَمْدُ لِلهِ ; walhamdu lillah (dan segala puji hanya bagi Allah.)
وَ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ ; walailaha illallah (dan tidak ada Tuhan selain Allah.)
وَ اللهُ اَکْبَرُ ; wallahu Akbar (dan Allah Maha Besar.)
Masalah 321) Terjemahan tasyahhud dan salam adalah sebagai berikut:
اَلْحَمْدُ لِلهِ ; al-hamdu lillah (segala puji hanya milik Allah.)
اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ ; asyhadu allailaha illallah (aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.)
وَحْدَهُ لاَ شَریکَ لَهُ ; wahdahu lasyarikalahu (Dia Maha Tunggal dan tidak ada sekutu baginya.)
وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَ رَسُولُهُ ; wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu (dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.)
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلی مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ ; Allahumma shalli ‘sla Muhammad wa sli Muhammad (Ya Tuhan! Shalawat dan salam atas Muhammad dan keluarga Muhammad.)
وَ تَقَبَّلْ شَفاعَتَهُ وَ ارْفَعْ دَرَجَتَهُ ; wa taqabbal syafa’atahu warfa’ darajatahu (dan terimalah syafaatnya dan angkat derajatnya.)
اَلسَّلامُ عَلَیْکَ اَیُّهَا النَّبِیُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَکاتُهُ ; assalamu ‘alaika ayyuhannabiyu wa rahmatullahi wa barakatuhu (salam sejahtera bagimu, ya Nabi, dan rahmat dan berkah untukmu, ya Nabi!)
اَلسَّلامُ عَلَیْنَا وَ عَلی عِبادِ اللهِ الصَّالِحینَ ; assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahishshalihin (salam sejahtera atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang salih.)
اَلسَّلامُ عَلَیْکُم وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَکاتُهُ ; assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu (salam sejahtera bagimu dan rahmat dan berkah Allah bagimu (orang beriman - malaikat).
- Hal-hal yang Membatalkan Shalat
Hal-hal yang Membatalkan Shalat
Masalah 322) Hal-hal yang membatalkan shalat adalah:
1. Hilangnya salah satu syarat yang harus dijaga dalam keadaan shalat;
2. Batalnya wudhu atau mandi;
3. Berpaling dari kiblat;
4. Berbicara;
5. Tertawa;
6. Menangis;
7. Hilangnya bentuk shalat;
8. Makan dan minum;
9. Keraguan-keraguan yang membatalkan shalat;*
* Akan dijelaskan di bagian keraguan-keraguan.10. Menambah dan mengurangi rukun shalat;
11. Mengatakan amin setelah membaca al-Fatihah;
12. Meletakkan kedua tangan di depan badan atau bersedekap (takattuf).Masalah 323) Jika salah satu syarat yang harus dijaga dalam keadaan shalat telah hilang, seperti di pertengahan shalat menyadari bahwa tempat yang dipergunakan untuk shalat adalah hasil rampasan atau curian, maka shalatnya batal.
Masalah 324) Jika salah satu hal yang membatalkan wudhu, mandi, atau tayammum terjadi di pertengahan shalat, seperti tertidur saat sedang shalat, buang air kecil atau sejenisnya, maka shalatnya batal.
Masalah 325) Jika sengaja memalingkan wajah atau tubuh dari kiblat hingga dapat dengan mudah melihat sisi kanan dan kirinya, maka shalat menjadi batal, dan berdasarkan ihtiyat wajib melakukannya dengan tidak sengaja pun akan membatalkan shalat, akan tetapi jika hanya sedikit memalingkan wajah ke salah satu dari dua sisi, maka hal ini tidak akan membatalkan shalat.
Masalah 326) Berbicara dengan sengaja saat shalat; sekalipun hanya satu kata, akan membatalkan shalat.
Masalah 327) Bunyi yang dikeluarkan seseorang akibat batuk dan bersin, meskipun mengeluarkan suara, tidak membatalkan Shalat.
Masalah 328) Jika mengucapkan suatu kata dengan niat dzikir, seperti mengatakan, «الله اکبر» “Allahu Akbar" dengan meninggikan suara ketika mengatakannya agar orang lain mengerti sesuatu, maka hal ini tidak masalah, tetapi jika ia berdzikir dengan niat membuat orang lain memahami sesuatu; meskipun juga memiliki niat berdzikir, shalatnya menjadi batal.
Masalah 329) Seseorang tidak boleh mengucapkan salam kepada orang lain saat sedang shalat, tetapi jika seseorang mengucapkan salam kepadanya, maka wajib untuk menjawab salam tersebut, dan menjawab salam harus sedemikian rupa sehingga mendahulukan kata salam, misalnya dengan mengatakan, (سلام علیکم) salamun ‘alaikum atau (السلام علیکم) assalamu ‘alaikum dan tidak boleh mengatakan, (علیکم السلام) ‘alaikumussalam.
Masalah 330) Jika seseorang mengucapkan salam kepada sekelompok orang dan mengatakan, «اَلسَّلامُ عَلَیکُم جَمِیعاً» assalamu ‘alaikum jami’an dan salah satu dari mereka sedang dalam keadaan shalat, jika orang lain telah menjawabnya, maka orang yang sedang shalat tidak boleh membalas ucapan salam tersebut.
Masalah 331) Menjawab ucapan salam seorang anak yang sudah mumayyiz adalah wajib seperti orang dewasa.
Masalah 332) Menjawab salam adalah wajib segera, dan jika karena suatu sebab seseorang menundanya sehingga tidak dihitung sebagai jawaban dari suatu salam, dan ia sedang melakukan shalat, maka ia tidak boleh menjawab ucapan salam tersebut, dan pada selain shalat pun tidak ada kewajiban untuk menjawabnya, dan jika ragu pada seberapa lama keterlambatannya maka hukumnya tetap demikian, hanya saja jika keterlambatan menjawab ucapan salam itu disengaja, berarti ia telah berdosa.
Masalah 333) Jika saat mengucapkan salam kepada mushalli menggunakan kata "salam" sebagai pengganti "salamun ‘alaikum”, maka ketika secara ‘urf (tradisi) hal itu disebut ucapan salam, menjawabnya adalah wajib dan ihtiyat wajibnya untuk menjawab dengan cara yang sama seperti yang telah dikatakan sebelumnya.
Masalah 334) Tertawa yang disengaja dan dengan suara keras (terbahak-bahak) akan membatalkan shalat, tetapi tertawa yang tidak disengaja atau tanpa suara, tidak membatalkan shalat.
Masalah 335) Mushalli yang tidak dapat menahan tawanya, jika mukanya memerah atau badannya bergetar karena kerasnya menahan tawa, shalatnya akan tetap sah selama bentuk shalatnya tidak berubah.
Masalah 336) Menangis dengan keras dan sengaja untuk urusan dunia membatalkan shalat, tetapi jika karena takut kepada Allah atau untuk urusan akhirat, maka tidak ada masalah, melainkan itu adalah salah satu amalan yang paling baik.
Masalah 337) Melakukan hal-hal yang merusak bentuk ahalat; seperti bertepuk tangan dan melompat ke atas; baik dilakukan dengan sengaja atau tidak, akan membatalkan shalat.
Masalah 338) Jika mushalli menggerakkan tangan, mata, dan alisnya sebentar saat sedang shalat untuk menjelaskan sesuatu kepada seseorang atau sebagai jawaban atas pertanyaannya dengan cara yang tidak bertentangan dengan ketenangan atau bentuk shalat, maka shalatnya tidak batal.
Masalah 339) Tidak mengapa menutup mata dalam shalat dan tidak membatalkan shalat, meskipun makruh pada selain ruku’.
Masalah 340) Makruh bagi mushalli mengusapkan kedua tangannya ke mukanya setelah membaca doa qunut, tetapi shalatnya tidak batal.
Masalah 341) Makan dan minum saat sedang shalat membatalkan shalat, baik banyak atau sedikit. Akan tetapi menelan remah-remah makanan yang tertinggal di sudut-sudut mulut atau memakan makanan manis yang sedikit gulanya menempel dan tersisa di mulut tidak membatalkan shalat. Demikian juga, makan atau minum sesuatu dengan tidak sengaja atau karena lupa, asalkan tidak keluar dari kondisi shalat, maka shalatnya tidak batal.
Masalah 342) Barangsiapa dengan sengaja atau tidak sengaja mengurangi atau menambah rukun shalat atau dengan sengaja mengurangi atau menambah salah satu kewajiban yang bukan rukun shalat, maka shalatnya batal.
Masalah 343) Tidak diperbolehkan mengucapkan kalimat “Amin” setelah membaca surah al-Fatihah dan itu dapat membatalkan shalat. Tapi jika melakukannya dengan alasan taqiyyah, maka tidak masalah. Demikian juga berdiri dengan tangan bersedekap, jika dilakukan dengan niat bahwa tindakan ini adalah bagian dari shalat, maka membatalkan shalat, dan ihtiyat wajib untuk tidak melakukannya meskipun melakukannya tanpa niat ini.
Masalah 344) Tidak diperbolehkan menghentikan shalat wajib tanpa uzur dan alasan.
Masalah 345) Jika tidak mungkin menyelamatkan nyawa atau harta benda yang wajib dijaga dengan tanpa membatalkan shalat, maka shalat harus ditinggalkan, dan secara umum diperbolehkan menghentikan shalat untuk mencegah risiko kehilangan jiwa dan harta yang signifikan dan penting bagi mushalli.
- Keraguan-keraguan Shalat
- Sujud Sahwi
- Mengganti (qadha) sujud dan tasyahud yang lupa
Mengganti (qadha) sujud dan tasyahud yang lupa
Masalah 400) Jika dengan tidak sengaja meninggalkan salah satu perbuatan wajib shalat yang bukan rukun, maka shalat tidak menjadi batal, dan juga tidak wajib diqadha; kecuali dalam sujud dan berdasarkan ihtiyat wajib dalam tasyahud dimana keduanya harus diqadha setelah selesai shalat.
Masalah 401) Jika salah satu sujud ditinggalkan secara tidak sengaja dan baru menyadarinya pada saat ruku’ rakaat berikutnya atau setelahnya, maka setelah selesai shalat harus diqadha.
Masalah 402) Jika lupa membaca tasyahhud dan menyadarinya pada saat ruku’ rakaat berikutnya atau sesudahnya, maka shalat tidak batal; namun berdasarkan ihtiyat wajib, setelah mengucapkan salam shalat, harus mengqadhanya.
Masalah 403) Pada saat mengqadha sujud dan bacaan tasyahud yang dilakukan setelah shalat, semua syarat shalat harus dipenuhi; seperti kesucian badan dan pakaian, menghadap kiblat dan syarat-syarat lainnya.
Masalah 404) Orang yang melakukan qadha bacaan tasyahud setelah mengucapkan salam shalat, tidak wajib mengucapkan salam setelah mengqadha tasyahhud, dan orang yang melakukan qadha sujud, tidak wajib membaca tasyahhud dan salam setelah mengqadha sujud.
Masalah 405) Jika di antara ucapan salam dan qadha sujud atau tasyahud, melakukan salah satu hal yang membatalkan shalat, seperti memalingkan muka dari kiblat, maka harus melakukan qadha sujud dan tasyahud, dan Shalatnya sah.
Masalah 406) Seseorang yang harus melakukan qadha sujud atau tasyahud, jika karena perbuatan lain juga wajib untuk melakukan sujud sahwi, maka setelah shalat ia harus mengqadha sujud atau tasyahud terlebih dahulu, kemudian baru melakukan sujud sahwi.
- Shalat Musafir (dalam Perjalanan)
- Syarat pertama: jarak syar’i
- Syarat kedua: Niat Menempuh Jarak Syar’i
- Hukum-hukum Ikut dalam Perjalanan
Hukum-hukum Ikut dalam Perjalanan
Masalah 440) Seseorang yang dalam perjalanannya mengikuti orang lain; baik ikut karena keinginan sendiri atau karena paksaan, jika ia tahu bahwa orang yang diikuti akan menempuh jarak syar’i, maka shalatnya juga menjadi qashar.
Masalah 441) Jika yang ikut tidak mengetahui apakah yang diikuti berniat melakukan perjalanan jarak syar’i atau tidak, maka yang ikut tidak wajib menanyakannya, dan yang diikuti juga tidak wajib memberitahukannya, dan selama yang ikut tidak mengetahui niat yang diikuti apakah akan menempuh jarak syar’i atau tidak, maka shalatnya sempurna.
Masalah 442) Jika yang ikut meyakini bahwa yang diikuti tidak berniat melakukan perjalanan jarak syar’i dan di tengah perjalanan menyadari bahwa ia memiliki niat tersebut, jika sisa perjalanannya kurang dari jarak syar’i (memanjang atau gabungan), maka shalatnya dilakukan dengan sempurna.
Masalah 443) Jika seseorang dibawa secara paksa ke suatu tempat, dan ia mengetahui bahwa dirinya dibawa ke jarak delapan farsakh, maka shalatnya menjadi qashar.
-
- Syarat ketiga: Kesinambungan niat menempuh jarak syar’i
Syarat ketiga: Kesinambungan niat menempuh jarak syar’i
Masalah 444) Syarat ketiga dari syarat-syarat shalat qashar adalah kesinambungan dan kontinuitas niat menempuh jarak syar’i; oleh karena itu jika syarat ini dibatalkan di tengah perjalanan, meskipun ada syarat yang lain, maka shalatnya dikerjakan secara sempurna. Seperti seorang yang berniat melakukan perjalanan delapan farsakh dan setelah menempuh jarak dua atau tiga farsakh ia menyerah atau ragu-ragu untuk melanjutkan perjalanan, tetapi kemudian ia tersesat dan pergi ke tempat delapan farsakh yang sebelumnya tanpa ada niat, maka dalam kondisi ini shalatnya dilakukan secara sempurna.
Masalah 445) Jika pada awal perjalanan berniat pergi ke tempat tertentu yang jaraknya sampai ke sana mencapai delapan farsakh, tetapi sebelum sampai empat farsakh, memutuskan untuk pergi ke tempat lain yang juga berjarak delapan farsakh dari awal perjalanannya, maka shalatnya qashar.
Masalah 446) Seseorang yang berniat melakukan perjalanan delapan farsakh secara menerus atau memanjang, jika setelah mencapai empat farsakh, ia menyerah dan ingin kembali melalui jalur yang sama (yaitu mengubah jarak memanjang menjadi satu jarak gabungan), maka shalatnya qashar.
Masalah 447) Seseorang yang berniat melakukan perjalanan delapan farsakh atau lebih, jika sebelum mencapai empat farsakh ia membatalkan atau ragu-ragu, maka shalatnya dilakukan dengan sempurna, dan jika ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan lagi, maka ada beberapa bentuk:
1. Berhenti di suatu tempat saat ragu-ragu atau saat membatalkan melanjutkan perjalanan, dalam hal ini shalatnya qashar; baik sisa rutenya itu sama jaraknya dengan jarak syar’i atau tidak, bahkan jika setelah berniat lagi dan sebelum bergerak ia ingin shalat di tempat itu, maka harus shalatnya qashar.
2. Dalam keadaan ragu-ragu atau membatalkan melanjutkan perjalanan, seseorang telah menempuh jarak tertentu, dan sisa perjalanan setelah berniat lagi sama dengan jarak syar’i (memanjang atau gabungan), maka dalam hal ini shalatnya pada jarak yang dia telah tempuh dalam kondisi ragu-ragu adalah shalat sempurna; tapi setelah berniat lagi, shalatnya menjadi qashar.
3. Dalam keadaan ragu-ragu atau membatalkan melanjutkan perjalanan, seseorang telah menempuh jarak tertentu, dan sisa perjalanan kurang dari jarak syar’i, maka shalatnya dilakukan dengan sempurna; kecuali jika total jarak sebelum membatalkan atau ragu-ragu dengan jarak yang tersisa setelah niat untuk melanjutkan perjalanan lagi sama dengan jarak syar’i, maka dalam hal ini, berdasarkan ihtiyat wajib, ia harus menunaikan shalatnya secara sempurna dan juga secara qashar.Masalah 448) Seseorang yang telah berangkat dengan niat menempuh jarak syar’i, dan ia telah melakukan shalatnya secara qashar setelah melewati batas tarakhkhush, jika ia membatalkan niatnya sebelum mencapai empat farsakh atau berniat untuk tinggal selama sepuluh hari, maka shalat yang telah ia lakukan secara qashar, berdasarkan ihtiyat wajib harus melakukannya lagi dengan cara sempurna pada waktu pengulangan dan meng-qadhanya bila berada di luar waktu.
- Syarat keempat: Tidak melintasi wathan atau tempat tinggal
Syarat keempat: Tidak melintasi wathan atau tempat tinggal
Masalah 449) Salah satu syarat meng-qashar shalat adalah dari awal perjalanan atau di tengah perjalanan tidak berniat menetap di suatu tempat selama sepuluh hari (sebelum mencapai delapan farsakh) atau melintasi tempat kelahiran (wathan).
Masalah 450) Jika pada awal perjalanan atau di tengah-tengah perjalanan, seseorang memutuskan untuk tinggal di suatu tempat selama sepuluh hari sebelum mencapai delapan farsakh atau melewati tempat kelahiran (wathan), maka shalatnya sempurna sejak dari awal perjalanan. Demikian juga, jika setelah meninggalkan wathan atau tempat tinggal, sisa perjalanannya jikapun digabung tidak sampai delapan farsakh, maka shalatnya dikerjakan secara sempurna.
Masalah 451) Pada asumsi masalah sebelumnya, jika di tengah perjalanan seseorang ragu-ragu tentang tinggal selama sepuluh hari atau melewati wathan (tempat kelahiran), maka niat jarak syar’i tidak terpenuhi dan shalatnya dikerjakan secara sempurna.
- Syarat kelima: Perjalanannya Diperbolehkan (bukan perjalanan haram)
- Syarat Keenam: Memiliki Tempat Tetap
Syarat Keenam: Memiliki Tempat Tetap
Masalah 473) Salah satu syarat meng-qashar shalat dalam perjalanan adalah seseorang memiliki tempat tinggal yang tetap dan titik tinggal yang tetap di selain perjalanan; oleh karena itu, jika seorang musafir sama sekali tidak memiliki tempat yang tetap atau tempat tinggal (yaitu nomaden)* maka shalatnya dikerjakan secara sempurna.
* Nomaden adalah kiasan untuk seseorang yang rumah dan kehidupannya ikut bersamanya dan ia tidak memiliki tempat menetap secara khusus atau rumah yang merupakan tempat kembali sepulang dari bepergian.
Masalah 474) Pengembara dan mereka yang pada sebagian tahun tinggal di suatu tempat dan pada sebagian tahun lainnya bermigrasi ke wilayah pegunungan yang dingin dan menetap di pegunungan dan dataran, mereka ini tidak berstatus nomaden, melainkan mereka memiliki dua wathan (tempat tinggal) dimana jika jarak antara dua tempat sama dengan jarak syar’i, maka shalat mereka di perjalanan antara dua tempat tersebut adalah shalat qashar.
Masalah 475) Jika seorang nomaden hendak melakukan perjalanan lagi; misalnya, ingin pergi haji atau mengunjungi seseorang di suatu kota, jika ia melakukan perjalanan ini seperti perjalanan-perjalanan lainnya yaitu bersama keluarganya dan segala yang bersamanya, sedemikian hingga sebutan nomaden berlaku untuknya, maka shalatnya dilakukan secara sempurna, tetapi jika ia meninggalkan keluarganya di sebuah kota dan pergi sendiri sehingga tidak bisa disebut nomaden, bukan tidak mungkin shalatnya dikerjakan secara qashar.
Masalah 476) Jika pada sebagian tahun memiliki tempat untuk tinggal, tetapi pada sebagian lainnya ia nomaden dan tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, maka ketika tinggal di tempat yang tetap, ia harus menunaikan shalatnya secara sempurna dan ketika ia keluar dan tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (seperti sebagian suku dan kabilah), maka berdasarkan ihtiyat wajib, ia harus menunaikan shalatnya secara qashar dan juga secara sempurna.
Masalah 477) Jika seseorang berpisah dari suku atau kabilah yang nomaden untuk mencari dan menemukan tanaman dan kolam (untuk air minum), meskipun ia pergi menempuh jarak delapan farsakh atau lebih, shalatnya tetap dilakukan secara sempurna.
- Syarat Ketujuh: Perjalanan Bukan Merupakan Pekerjaan atau Profesinya
Syarat Ketujuh: Perjalanan Bukan Merupakan Pekerjaan atau Profesinya
Masalah 478) Salah satu syarat dimana shalat menjadi qashar dalam perjalanan adalah perjalanan tersebut bukan merupakan profesi, dengan demikian jika perjalanan tersebut merupakan profesi; baik kekuatan profesi ada pada bepergian, seperti sopir atau pilot pesawat, atau bepergian merupakan pendahuluan profesi, seperti perjalanan yang dilakukan oleh seorang dokter atau guru untuk tugas dan profesinya, maka shalat dalam perjalanan itu dikerjakan secara sempurna dan puasanya sah.
Masalah 479) Jika profesi seseorang bukanlah melakukan perjalanan; maka sekalipun ia melakukan banyak perjalanan, shalatnya tetap dikerjakan secara qashar, baik dari awal ia mempunyai niat untuk melakukan banyak perjalanan; seperti seseorang yang berniat melakukan ziarah dari Teheran ke Masjid Jamkaran (Qom) selama 40 Jumat, atau tanpa niat itu dan secara kebetulan melakukan banyak perjalanan; seperti seorang yang sakit dan harus bepergian ke kota secara rutin untuk berobat.
Masalah 480) Ada tiga syarat yang harus dipenuhi supaya bisa dikatakan bahwa “perjalanan merupakan profesi”:
1. Berniat melakukan perjalanan profesi;
2. Memulai perjalanan profesi;
3. Niat menerus dalam perjalanan profesi.Masalah 481) Yang menjadi tolok ukur bahwa bepergian dianggap sebagai suatu profesi adalah ‘urf (pandangan umum), dan jika terdapat keraguan pada suatu kasus mengenai apakah menurut ‘urf dianggap profesi atau bukan, maka shalatnya dikerjakan secara qashar dan puasa tidak sah.
Masalah 482) Perjalanan yang dikatakan sebagai profesi, tidak bergantung pada uang dan rejeki yang dihasilkan darinya; oleh karena itu, seorang guru yang melakukan perjalanan untuk mengajar secara cuma-cuma, juga dianggap sebagai profesi baginya, sehingga shalatnya dalam perjalanan tersebut harus dilakukan secara sempurna.
Masalah 483) Setelah syarat-syarat di atas terpenuhi, maka hukum perjalanan berlaku sejak awal melakukan perjalanan profesi, dan shalat pada saat itu dikerjakan secara sempurna dan sah untuk berpuasa.
Masalah 484) Jika bepergian untuk menuntut ilmu merupakan bagian dari profesi; misalnya ada sebuah pelatihan yang dibuat untuk karyawan seorang dan ia melakukan perjalanan untuk mengikuti pelatihan tersebut, maka shalatnya dikerjakan secara sempurna.
Masalah 485) Seorang pelajar yang melakukan perjalanan menuntut ilmu untuk mendapatkan pekerjaan di masa yang akan datang, maka berdasarkan ihtiyat wajib, ia harus melakukan shalat secara sempurna dan secara qashar, berpuasa dalam perjalanan belajar, dan juga meng-qadhanya.
Masalah 486) Jika menuntut ilmu dan bergabung dengan suatu komunitas dimana nama komunitas tersebut merupakan profesi; seperti pelajar agama yang sejak awal pendidikannya diberi gelar “ulama”, atau para mahasiswa perguruan tinggi yang mendapat pangkat dan disebut “perwira” setelah menyelesaikan beberapa bulan pelatihan dan pendidikan di universitas, maka jenis belajar seperti ini dianggap sebagai profesi, dan dalam perjalanan melakukan studi, mereka harus menunaikan shalat secara sempurna dan juga berpuasa.
Masalah 487) Jika mukallaf hanya melakukan satu perjalanan jauh untuk pekerjaannya, seperti perjalanan laut yang panjang, bukan tidak mungkin hal itu oleh ‘urf dianggap sebagai pekerjaan, sehingga shalatnya pun harus dilakukan secara sempurna meski ia tidak berniat melanjutkannya; artinya sebuah perjalanan panjang menggantikan niat kontinuitas.
Masalah 488) Seseorang yang mempunyai sebuah pekerjaan dimana sekali dalam setahun berlangsung lama, misalnya satu bulan; seperti pemimpin jamaah haji, jika ia berencana melakukan profesi ini setiap tahun, maka shalatnya dikerjakan secara sempurna bahkan termasuk di perjalanan pertama. Namun jika tidak berniat melanjutkan, maka shalatnya dikerjakan secara qashar.
Masalah 489) Seseorang yang pada sebagian tahun memiliki perjalanan kerja dan niatnya adalah untuk melakukannya setiap tahun, seperti mengemudi dalam satu atau dua bulan musim panas, perjalanannya ini berstatus perjalanan kerja dan shalatnya sempurna sejak perjalanan pertama.
Masalah 490) Seseorang yang ingin bekerja hanya sekali pada satu penggalan tahun dan tidak berniat untuk melanjutkannya di tahun-tahun mendatang, jika masa kerjanya berlangsung setidaknya tiga bulan secara normal dan terus menerus (yaitu hanya libur pada hari-hari yang biasanya mereka libur; seperti pada hari-hari besar dan hari berkabung) shalatnya dilakukan secara sempurna termasuk pada perjalanan pertama, tetapi jika jangka waktunya tidak lama, misalnya ia ingin melakukan pekerjaan ini hanya selama sebulan, maka hal seperti ini tidak jelas bagi ‘urf (tradisi) untuk dikatakan sebagai perjalanan kerja, dan ketika ragu tentang hal ini maka shalatnya dikerjakan secara qashar.
Masalah 491) Seseorang yang pekerjaan dan profesinya melakukan perjalanan ke luar kota kurang dari jarak syar’i; seperti sebagian supir taksi, jika kebetulan ia menempuh jarak yang sesuai dengan jarak syar’i untuk pekerjaan yang sama, maka perjalanan itu tidak dianggap sebagai perjalanan kerja, jadi shalatnya dikerjakan secara qashar.
Masalah 492) Seseorang yang pekerjaannya bepergian (baik kelanjutan dari pekerjaan adalah perjalanan atau perjalanan merupakan pendahuluan dari pekerjaan), jika ia melakukan perjalanan yang bukan pekerjaan, meskipun tujuannya adalah ke tempat kerjanya, maka shalatnya dilakukan secara qashar.
Masalah 493) Dengan asumsi masalah sebelumnya, jika seseorang pergi ke tempat kerja untuk selain profesinya, tetapi ia memutuskan untuk tinggal di sana karena pekerjaannya, maka selama ia berada di sana, hingga pergi bekerja, setelah bekerja dan pada saat kembali dari bekerja, shalatnya dikerjakan secara sempurna, meskipun ihtiyat (hati-hati) nya, selama ia berada di sana hingga pergi bekerja hendaknya menunaikan shalat secara sempurna dan juga secara qashar.
Masalah 494) Seseorang yang pekerjaannya bepergian, jika ia tinggal selama sepuluh hari baik di wathan ataupun non-watan, dengan niat ataupun tanpa niat, maka pada safar pertama setelah sepuluh hari, ia harus mengqashar shalatnya.
Masalah 495) Seseorang yang pekerjaannya bepergian, jika ia tinggal selama sepuluh hari baik di wathan ataupun non-wathan kemudian melakukan perjalanan non-profesi, misalnya pergi berziarah, maka berdasarkan ihtiyat wajib, pada perjalanan profesi setelah perjalanan ziarah yang dilakukannya, shalatnya harus dilaksanakan secara sempurna dan juga secara qashar.
Masalah 496) Seseorang yang pekerjaannya bepergian, jika ia ragu akan tinggal di suatu tempat selama sepuluh hari ataukah kurang dari itu, jika keraguannya berkaitan dengan ketidakpastian hari kedatangan ke tempat itu, maka ia harus menunaikan shalat secara sempurna pada hari pertama perjalanan kerjanya, dan jika keraguannya berkaitan dengan ketidakpastian keberangkatan, maka tugasnya adalah menunaikan shalat secara qashar.
Masalah 497) Jika seseorang yang pekerjaannya bepergian memiliki satu tujuan dalam perjalanan kerjanya dan tinggal di suatu tempat selama sepuluh hari sebelum sampai ke tujuannya, maka kelanjutan perjalanan ke tujuan dengan jalur pulang ke tempat tinggalnya (wathan) dianggap sebagai perjalanan pertama dan ia harus menunaikan shalat secara qashar.
Masalah 498) Pada asumsi masalah sebelumnya, jika ia memiliki beberapa tujuan, maka perjalanan pertama (setelah tinggal selama sepuluh hari) akan berakhir ketika sampai pada tujuan pertama, dan ketika ia berangkat menuju ke tujuan kedua, maka perjalanan ini dihitung sebagai perjalanan kedua dan shalatnya dikerjakan secara sempurna.
Masalah 499) Dalam perjalanan kerja yang shalatnya dilakukan secara sempurna dan puasanya sah, tidak ada bedanya apakah rutenya, atau jenis pekerjaannya, atau sarana perjalanannya, sama ataukah beda dengan sebelumnya.
Masalah 500) Seseorang yang pekerjaannya mengemudi, jika kendaraannya mogok atau rusak setelah ia memulai pekerjaannya dan untuk memperbaiki dan membeli perlengkapan ia musti menempuh jarak syar’i, maka perjalanan ini juga termasuk perjalanan kerja dan shalatnya dikerjakan secara sempurna.
Masalah 501) Pada asumsi permasalahan sebelumnya, jika mobil mogok terjadi sebelum ia mulai bekerja dan untuk memperbaiki dan membeli perlengkapan musti menempuh jarak syar’i, maka shalatnya dalam perjalanan ini dilakukan secara qashar.
Masalah 502) Seseorang yang pekerjaannya bepergian, jika ia melakukan perjalanan bukan karena pekerjaan, maka shalatnya dilakukan secara qashar. Misalnya, seseorang yang pekerjaannya mengantar penumpang dari satu kota ke kota lain, jika ia pergi untuk berhaji atau berziarah ke makam-makam suci, maka ia harus melakukan shalatnya secara qashar, tetapi jika ia melakukan hal pribadi seperti ziarah, dalam perjalanan kerjanya, baik tujuan utama adalah hal pribadi, dan mengambil penumpang adalah pekerjaan sampingan atau sebaliknya, atau kedua tujuan itu sama, maka shalatnya dilakukan secara sempurna.
Masalah 503) Seseorang yang pekerjaannya bepergian, jika ia melakukan perjalanan non-kerja dan ingin berangkat kerja dari sana, jika ia tidak berhenti di sana selama sepuluh hari (baik dengan niat atau tanpa niat), maka di perjalanan menuju tempat kerja ia harus melakukan shalatnya secara sempurna.
Masalah 504) Seseorang yang pekerjaannya bepergian; maka pada perjalanan kembali dari kerja, ia harus menunaikan shalatnya secara sempurna, tetapi jika ia tinggal selama beberapa hari (kurang dari sepuluh hari) untuk tujuan non-kerja seperti berziarah atau rekreasi dan kemudian kembali, maka sesuai ihtiyat wajib pada perjalanan kembali ia harus menunaikan shalat dengan qashar dan juga sempurna.
Masalah 505) Jika seseorang yang pekerjaannya bepergian melakukan perjalanan terakhir untuk pekerjaannya atau ia berhenti bekerja di tengah perjalanan dan perjalanannya ini menjadi dasar pekerjaannya; seperti mengemudi, maka dalam perjalanan pulang dari perjalanan yang terakhir ini, jika ia tidak membawa penumpang, kepulangannya tidak dianggap sebagai perjalanan kerja, dan shalatnya dikerjakan secara qashar, baik ia kembali dengan mobilnya sendiri atau dengan cara lain, dan jika perjalanan tersebut merupakan pendahuluan dari pekerjaannya, maka ketika kembali dari perjalanan terakhir, berdasarkan ihtiyat wajib, ia harus menunaikan shalat secara sempurna dan juga secara qashar.
- Syarat kedelapan: Tiba di Batas Tarakhkhush
Syarat kedelapan: Tiba di Batas Tarakhkhush*
* Menurut penelitian yang dilakukan, batas tarakhkhush adalah 1350 meter setelah titik terakhir kota.
Masalah 506) Seorang musafir yang meninggalkan tempat tinggalnya (wathan) dan berniat melakukan perjalanan dengan jarak syar’i, maka ia baru bisa melakukan shalatnya secara qashar ketika telah tiba pada batas tertentu, demikian juga dalam perjalanan kembali, ketika sampai pada batas tersebut, barulah ia wajib menunaikan shalatnya secara sempurna, batas ini secara istilah disebut “batas tarakhkhush”. Kendati di jarak antara batas tarakhkhush hingga masuk ke kota ihtiyat mustahab untuk melaksanakan shalat dalam bentuk jamak yaitu melakukan shalat secara qashar dan juga secara sempurna.
Masalah 507) Kriteria untuk menentukan batas tarakhkhush adalah dari rumah terakhir kota sejauh tidak terdengar lagi suara adzan tanpa pengeras suara dari kota, baik tembok kota masih terlihat ataupun tidak.
Masalah 508) Jika saat berada di luar kota mendengar suara adzan dan mengetahui bahwa itu adalah adzan tetapi tidak dapat membedakan bagian-bagiannya satu sama lain, maka berdasarkan ihtiyat wajib, ia harus menggabungkan shalat antara qashar dan sempurna, kecuali jika ia melanjutkan perjalanannya hingga sama sekali tidak terdengar suara adzan.
Masalah 509) Kriteria untuk batas tarakhkhush adalah mendengar suara adzan yang dikumandangkan dari ketinggian seperti dari masjid-masjid tua dan di ujung kota.
Masalah 510) Kriteria kerasnya adzan adalah suara rata-rata dan normal, dan dalam mendengar adzan, daya dengar rata-rata dan normal, dan dalam kondisi cuaca normal, artinya cuaca yang tidak disertai dengan angin kencang dan tidak ada debu atau kabut.
Masalah 511) Jika musafir berada cukup jauh dari tempat tinggal (wathan) sehingga suara adzan tidak terdengar, tetapi suara keras lainnya seperti doa dan bacaan al-Qur'an masih terdengar, maka jika ia menunaikan shalatnya di sana, ihtiyat untuk mengerjakan shalat dengan menggabungkan (qashar dan sempurna), atau melakukannya ketika sudah berada cukup jauh sehingga tidak ada suara yang terdengar.
Masalah 512) Jika seorang musafir pergi ke suatu tempat dimana ia memutuskan untuk tinggal selama sepuluh hari di sana, maka selama ia belum mencapai batas tarakhkhush tempat ia akan tinggal, shalatnya dilakukan secara qashar dan pada jarak antara batas tarakhkhush dan tempat untuk tinggal, berdasarkan ihtiyat wajib, hendaknya mengerjakan shalat dengan menggabungkan (qashar dan sempurna).
Masalah 513) Jika seseorang meninggalkan tempat di mana ia telah berniat tinggal selama sepuluh hari dengan tujuan melakukan perjalanan dengan jarak syar’i, maka pada jarak antara tempat ia tinggal dan batas tarakhkhush, ihtiyat wajib untuk menggabungkan shalat qashar dan sempurna, atau menunda shalat sampai melewati batas tarakhkhush, dan menunaikan shalat secara qashar.
Masalah 514) Seseorang yang telah tinggal di suatu tempat selama 30 hari dengan kondisi ragu, sejak hari ke-31 ia harus menunaikan shalatnya secara sempurna, jika ia meninggalkan tempat tersebut dengan niat melakukan perjalanan dengan jarak syar’i, maka sebelum batas tarakhkhush ihtiyat wajib untuk menggabungkan shalat secara qashar dan sempurna, atau menunda shalat dan menunaikannya secara qashar.
Masalah 515) Pada kasus-kasus lain (selain tiga kasus)* dimana seorang musafir sebelumnya berkewajiban menunaikan shalat secara sempurna kemudian berubah menjadi shalat qashar, untuk melakukan shalat secara qashar ini batas tarakhkhush tidak menjadi kriteria; seperti seseorang yang tadinya melakukan perjalanan haram kemudian perjalanannya berubah menjadi mubah (boleh), atau seseorang yang tadinya telah melakukan perjalanan delapan farsakh tanpa niat, sekarang ia ingin kembali.
* Yaitu selain kasus wathan, berniat tinggal selama sepuluh hari, dan tinggal lebih dari tiga puluh hari dalam kondisi ragu-ragu.
Masalah 516) Seseorang yang bepergian dari wathan dengan niat menempuh jarak syar’i, jika ia ragu telah sampai di batas tarakhkhush ataukah belum; maka ia harus menetapkan bahwa ia belum mencapai batas tarakhkhush sehingga ia harus menunaikan shalatnya secara sempurna, dan jika keraguan ini terjadi ketika ia kembali dari perjalanan, maka ia harus menunaikan shalatnya secara qashar. Tentu saja, jika di satu tempat ia ragu telah melampaui batas tarakhkhush ataukah belum, dan keraguan ini terjadi di saat berangkat dan juga di saat pulang dan di tempat ini ia ingin melakukan shalat, maka ia harus menggabungkan antara shalat sempurna dan qashar, dan jika saat berangkat ia hanya menunaikan shalat sempurna, maka ia juga harus menunaikannya secara qashar.
Masalah 517) Seseorang yang melakukan perjalanan dari wathan, jika sebelum mencapai batas tarakhkhush ia menunaikan shalat secara qashar karena mengira telah mencapai batas tarakhkhush, kemudian ia menyadari telah melakukan kesalahan, maka ia harus mengulang shalatnya. Demikian juga jika hal seperti ini terjadi ketika kembali ke wathan dan ia menunaikan shalat secara sempurna, maka hukumnya sama seperti di atas.
Masalah 518) Seseorang yang melakukan perjalanan dari wathan, jika setelah melewati batas tarakhkhush ia menunaikan shalatnya secara sempurna karena mengira belum sampai di batas tarakhkhush, kemudian ia menyadari bahwa tidak seperti itu, maka ia harus mengulang shalatnya, demikian juga apabila hal seperti ini terjadi pada saat kepulangannya dan ia menunaikan shalat qashar, maka hukumnya sama seperti di atas.
Masalah 519) Jika setelah meninggalkan wathan dan melewati batas tarakhkhush, seseorang kembali memasuki batas tarakhkhush, maka ia harus menunaikan shalat secara sempurna di dalam batas tarakhkhush, dan tidak ada bedanya apakah kembalinya ke batas tarakhkhush ini karena disadari, tidak disadari ataukah karena jalanan yang membelok.
Masalah 520) Pada asumsi masalah sebelumnya, jika masuknya seseorang ke dalam batas tarakhkhush karena sifat rute jalanan yang membelok, maka sisa rute tidak perlu sebanyak jarak syar’i, melainkan jumlah jarak syar’i dihitung sejak awal perjalanan termasuk jarak yang ada di dalam batas tarakhkhush dan perjalanan pulang.
Masalah 521) Pada asumsi masalah sebelumnya, jika kembali masuknya ke batas tarakhkhush bukan karena rute alami lintasan jalan, tetapi karena hal lain, baik secara sengaja atau diluar kehendak*; misalnya kembali untuk mengambil koper yang tertinggal di batas tarakhkhush, setelah itu melanjutkan perjalanan yang sebelumnya, maka dalam hal ini, jarak syar’i dihitung dari awal perjalanan, tetapi jarak tambahan masuk kembali ke batas tarakhkhush untuk mengambil barang dan kembali lagi ke tempat sebelumnya, tidak dihitung dalam jarak syar’i.
* Contoh dari di luar kehendak, seperti kapal yang bergerak menuju tujuan dan telah melewati batas tarakhkhush tapi masuk kembali ke batas tarakhkhush karena hembusan angin.
Masalah 522) Jika dengan niat menempuh jarak syar’i, seseorang telah keluar dari batas tarakhkhush dan telah melakukan shalat secara qashar lalu masuk kembali ke batas tarakhkhush dan kemudian melanjutkan perjalanannya, maka shalat yang telah dikerjakannya itu sudah mencukupi dan tidak perlu baginya untuk mengulanginya.
Masalah 523) Jika seseorang meninggalkan tempat yang diniatkan untuk tinggal selama sepuluh hari, dengan maksud melakukan perjalanan jarak syar’i, dan setelah melewati batas tarakhkhush, ia masuk kembali ke batas tarakhkhush karena suatu alasan atau bahkan masuk ke area tempat tinggal dan tidak lagi berniat untuk tinggal selama sepuluh hari, maka shalatnya dikerjakan secara qashar.
Masalah 524) Jika seseorang berniat untuk pergi di sekitar kota setidaknya delapan farsakh, jika kepergiannya ini di dalam batas tarakhkhush, maka shalatnya dikerjakan secara sempurna, tetapi jika di luar batas tarakhkhush, shalatnya menjadi qashar; kendati dalam beberapa kasus dikarenakan jalan yang membelok dan berliku, masih masuk di dalam batas tarakhkhush dan jumlah rute di luar batas tarakhkhush kurang dari delapan farsakh. Tentu saja, jika ia ingin melakukan shalat di dalam batas tarakhkhush, maka shalatnya dikerjakan secara sempurna.
Masalah 525) Pada asumsi masalah sebelumnya, jika masuknya ke batas tarakhkhush bukan karena rute alami jalanan, tetapi kembali masuk ke batas tarakhkhush dengan ikhtiyar dan kehendaknya sendiri, maka dalam hal ini, jika sisa perjalanan selain dari jumlah jarak kembali dan keluar, bukan delapan farsakh, maka shalatnya dikerjakan secara sempurna, dan jika sama dengan jarak syar’i maka shalatnya di-qashar. Tentu saja shalatnya di dalam batas tarakhkhush dikerjakan secara sempurna.
- Hal-hal yang Memutus Perjalanan
- Hukum Shalat-shalat Nafilah dalam Perjalanan
Hukum Shalat-shalat Nafilah dalam Perjalanan
Masalah 597) Tidak ada kebolehan mengerjakan shalat nafilah Dzuhur dan Ashar pada perjalanan yang shalatnya qashar (sekalipun dengan niat raja’an).
Masalah 598) Tidak ada masalah melakukan shalat nafilah Isya (wutairah) dalam perjalanan, dengan niat raja’an dan mengharap pahala.
Masalah 599) Shalat nafilah harian yang gugur bagi seorang musafir, diperbolehkan dan mustahab dilakukan bagi yang berniat tinggal sepuluh hari. Demikian juga puasa mustahab pun sunnah untuknya.
Masalah 600) Jika di tempat-tempat pilihan (takhyir) seseorang ingin mengerjakan shalatnya secara sempurna, maka ia juga bisa menunaikan shalat-shalat nafilah harian.
Masalah 601) Nafilah malam dan nafilah shalat Subuh dan Maghrib tidak gugur bagi musafir.
Masalah 602) Selain nafilah harian, shalat sunnah lainnya seperti shalat Ja’far Tayyar (yang merupakan shalat yang sangat penting dan memiliki keutamaan) dan shalat Imam Zaman as atau shalat yang dilakukan pada hari-hari tertentu; seperti shalat pada hari Jumat, tidak gugur bagi musafir.
- Hukum Mengerjakan Shalat Sempurna di Tempat yang Kewajibannya Shalat Qashar
Hukum Mengerjakan Shalat Sempurna di Tempat yang Kewajibannya Shalat Qashar
Masalah 603) Seorang musafir yang mengetahui bahwa shalat dalam perjalanan yang syarat-syaratnya terpenuhi adalah shalat qashar, dan ia juga mengetahui bahwa perjalanan yang dilakukannya memenuhi syarat-syarat tersebut, jika ia mengerjakan shalatnya secara sempurna, maka shalatnya batal, baik ia berada dalam waktu maupun di luar waktu, dan ia harus mengerjakannya kembali secara qashar.
Masalah 604) Seorang musafir yang tidak mengetahui bahwa shalat dalam perjalanan harus dikerjakan secara qashar dan bertentangan dengan kewajibannya, ia menunaikan shalat secara sempurna, jika ketidaktahuannya terjadi karena jahil qashir*, maka setelah memahami hukumnya, ia tidak perlu mengulangi atau meng-qadha shalatnya.
* Artinya orang yang tidak mengetahui hukumnya dan juga tidak memperhatikan ketidaktahuannya.
Masalah 605) Pada asumsi kasus sebelumnya, jika ketidaktahuannya adalah jahil muqasshir*, maka ia berdosa atas ketidakpeduliannya dalam mempelajarinya, dan setelah memahami hukumnya, ia harus mengulangi shalatnya jika berada pada waktunya dan meng-qadha jika di luar waktu.
*Artinya seseorang yang mengetahui ketidaktahuannya dan bisa memperbaikinya, namun ia tidak melakukannya.
Masalah 606) Jika seseorang mengetahui tentang hukum shalat dalam perjalanan, tetapi karena ketidaktahuan tentang kekhususan hukum, ia mengerjakan shalat secara sempurna, maka dalam hal ini jika ia menyadarinya ketika masih berada dalam waktu shalat, ihtiyat wajib baginya untuk mengulanginya, dan jika ia menyadarinya di luar waktu shalat, ia harus meng-qadhanya. Misalnya, ia mengetahui bahwa shalat dalam perjalanan adalah shalat qashar, tetapi ia tidak mengetahui bahwa ketika ia membatalkan niatnya setelah berniat tinggal sepuluh hari dan sebelum mengerjakan satu shalat empat rakaat, ternyata shalatnya menjadi qashar, dan ia mengerjakannya secara sempurna.
Masalah 607) Jika seorang musafir mengetahui hukum shalat dalam perjalanan, tetapi karena ketidaktahuannya tentang subjek menyebabkan ia melakukan shalatnya secara sempurna, maka ia harus mengulangi shalatnya. Misalnya, ia mengetahui bahwa kewajiban seorang musafir adalah shalat qashar, tetapi ia berniat pergi ke suatu tempat tertentu yang berjarak delapan farsakh, hanya saja karena ia mengiranya tujuh farsakh sehingga ia mengerjakan shalatnya secara sempurna, padahal kewajiban yang sebenarnya adalah mengerjakan shalat qashar.
Masalah 608) Jika seseorang lupa bahwa seorang musafir harus mengerjakan shalatnya secara qashar atau lupa bahwa ia sedang berada dalam perjalanan dan ia mengerjakan shalatnya secara sempurna, jika ia teringat ketika masih berada dalam waktu shalat, maka ia harus mengulangi shalatnya, jika ia tidak mengulanginya, maka wajib untuk meng-qadhanya, tetapi jika ia menyadari setelah lewat waktunya, maka shalatnya tidak memiliki qadha.
Masalah 609) Seorang musafir yang tidak mengetahui bahwa tugas seorang musafir adalah mengerjakan shalatnya secara qashar; jika waktu shalatnya telah menjadi qadha dan ia menyadari hukumnya setelah lewat waktu, maka ia harus mengqadha shalatnya secara qashar.
Masalah 610) Pada asumsi masalah sebelumnya, jika shalat yang sudah lewat telah ia qadha secara sempurna, setelah itu ia baru mengetahui hukumnya, maka jika ia jahil qashir, shalat tidak perlu diulang.
Masalah 611) Jika seseorang lupa bahwa kewajiban seorang musafir adalah shalat qashar, atau lupa bahwa ia sedang berada dalam perjalanan dan memulai shalat dengan niat sempurna dan ia teringat sebelum bangkit untuk rakaat ketiga, maka ia harus menyelesaikan shalatnya yang dua rakaat itu dan shalatnya benar, dan jika ia teringat setelah bangkit untuk rakaat ketiga dan sebelum ruku’, maka ia harus duduk dan mengucapkan salam.
Masalah 612) Pada asumsi masalah sebelumnya, jika ia teringat setelah menuju ruku’ rakaat ketiga, maka shalatnya tidak sah, baik ia berada pada waktu yang luas maupun sempit dimana tidak ada waktu yang cukup untuk melakukan satu rakaat, dan ia harus mengulangi atau meng-qadha shalatnya.
- Hukum Menunaikan Shalat Qashar di Tempat yang Kewajibannya Shalat Sempurna
Hukum Menunaikan Shalat Qashar di Tempat yang Kewajibannya Shalat Sempurna
Masalah 613) Seorang musafir yang tugasnya melakukan shalat secara sempurna, jika ia mengerjakan shalatnya bertentangan dengan kewajibannya yaitu secara qashar, maka shalatnya batal, dan dalam hukum ini tidak ada perbedaan antara ia mengetahui, sengaja, lupa, tidak tahu hukum atau subjek; kecuali untuk kasus yang dijelaskan dalam masalah berikutnya.
Masalah 614) Seorang musafir yang ingin tinggal di suatu tempat selama sepuluh hari, jika ia mengerjakan shalat secara qashar lantaran tidak mengetahui hukumnya, maka shalatnya sah, tetapi jika ia mengerjakan shalatnya secara qashar karena tidak mengetahui subjek atau lupa, maka shalatnya batal dan ia harus shalat lagi.
Masalah 615) Seseorang yang tugasnya mengerjakan shalat sempurna; seperti musafir yang berniat untuk tinggal sepuluh hari, jika karena lupa atau ketidaktahuan tentang hukum atau subjek ia memulai shalat dengan niat qashar, kemudian menyadarinya sebelum mengucapkan salam akhir shalat,* maka ia harus melanjutkan shalatnya secara sempurna dan dihukumi sah.
*Ucapan salam pertama yaitu, “assalamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakatuh,” merupakan salam yang mustahab dan shalat belum dianggap selesai dengan mengucapkannya, tetapi ucapan salam yang kedua; yaitu, “assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahishshalihin” atau ucapan salam ketiga; yaitu, “assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh” telah menyebabkan seseorang keluar dari shalatnya.
- Berbagai Masalah
Berbagai Masalah
Masalah 616) Seseorang yang pada awal waktu shalat berada di wathan atau di tempat dimana ia berniat untuk tinggal sepuluh hari dan ia melakukan perjalanan sebelum mengerjakan shalat, jika ia ingin mengerjakan shalat dalam perjalanan, maka ia harus mengerjakannya secara qashar.
Masalah 617) Seorang yang melakukan perjalanan di awal waktu shalat dan belum menunaikan shalat lalu ia sampai di wathan atau di tempat tinggalnya, maka shalatnya dilakukan secara sempurna.
Masalah 618) Seorang yang melakukan perjalanan di awal waktu dan belum menunaikan shalat; dan setelah sampai di wathan atau di tempat tinggalnya ia telah kehilangan waktunya untuk shalat, maka ia wajib meng-qadhanya dengan shalat sempurna.
Masalah 619) Seseorang yang di awal waktu shalat berada di wathan atau tempat tinggalnya, lalu ia melakukan perjalanan dan di perjalanan ini ia kehabisan waktu shalat, maka ia wajib meng-qadhanya dengan shalat qashar.
Masalah 620) Seorang musafir di empat tempat takhyir (tempat dimana ada kebolehan memilih antara shalat sempurna atau shalat qashar - pent) yaitu kota Mekah, Madinah, masjid Kufah dan sekitar Haram Husaini as dapat mengerjakan shalat empat rakaat secara sempurna atau secara qashar, dan jika bisa mengerjakannya secara sempurna maka itu lebih utama, tetapi ihtiyat mustahab untuk melakukannya secara qashar.
Masalah 621) Hukum takhyir (memilih) berlaku di seluruh kota Makkah dan Madinah saat ini, dan tidak hanya dikhususkan untuk Masjid al-Haram dan Masjid Nabi saw saja, namun ihtiyat mustahab untuk mencukupkan diri pada dua masjid.
Masalah 622) Hukum takhyir di Kufah hanya berlaku khusus untuk masjid Kufah saja, dan berdasarkan ihtiyat wajib tidak berlaku di kota Kufah.
Masalah 623) Hukum takhyir di sekitar Haram Husaini as hanya khusus di bawah kubah (tahta al-qubbah) dan tempat dekat makam Imam Husain as saja, oleh karena itu berdasarkan ihtiyat tidak termasuk ruang-ruang yang ada di dalamnya dan halamannya.
Masalah 624) Hukum takhyir di empat tempat yang disebutkan di atas bersifat terus-menerus dan para musafir dapat melakukan shalat-shalat empat rakaat yang mana saja secara sempurna ataupun secara qashar.
Masalah 625) Jika di tempat-tempat takhyir ini seorang mukalaf kehilangan satu shalat (baik secara sengaja atau tidak sengaja) dan ia ingin meng-qadhanya di tempat lain, maka yang lebih kuat ialah melakukannya secara qashar, dan jika ia ingin meng-qadhanya di tempat-tempat tersebut, maka ihtiyat wajib untuk melakukannya secara qashar.
Masalah 626) Hukum takhyir di empat tempat ini tidak termasuk puasa, dengan demikian di tempat-tempat tersebut musafir tidak bisa berpuasa Ramadhan.
-
- Shalat Qadha
Shalat Qadha
Masalah 627) Seseorang yang tidak melaksanakan shalat wajib yaumiyah pada waktu yang telah ditentukan karena sengaja, atau lupa, atau karena jahil, atau menyadari bahwa shalatnya tidak sah setelah lewat waktunya, maka wajib untuk meng-qadha shalatnya.
Masalah 628) Jika seseorang tidak melakukan shalat wajib yang bukan yaumiyah; secara tepat pada waktunya seperti shalat-shalat ayat, maka wajib untuk meng-qadha shalatnya.
Masalah 629) Meng-qadha shalat menjadi wajib ketika mukalaf yakin bahwa shalatnya tidak dikerjakan atau tidak sah, tetapi jika ia ragu atau menduga bahwa ia tidak mengerjakan shalat atau menduga shalatnuya batal, maka tidak wajib untuk meng-qadhanya.
Masalah 630) Jika mukalaf tidak sadar (pingsan) di sepanjang waktu shalat, maka tidak ada kewajiban untuk mengqadha shalatnya; kecuali ketidaksadaran itu atas kehendaknya sendiri, dimana berdasarkan ihtiyat wajib ia harus meng-qadhanya.
Masalah 631) Seorang non-Muslim yang telah masuk Islam tidak wajib meng-qadha shalat yang tidak dilakukannya sebelum menjadi Muslim; tetapi seorang yang murtad, yaitu Muslim yang keluar dari Islam lalu bertobat dan kembali menganut Islam, maka ia arus meng-qadha shalat-shalat yang ditinggalkannya semasa murtad.
Masalah 632) Shalat-shalat yang tidak dilakukan oleh perempuan dalam masa haid atau nifas, tidak ada qadhanya.
Masalah 633) Tidak wajib bagi orang yang memiliki shalat qadha untuk segera melaksanakannya, tentu saja ia tidak boleh bersikap kurang peduli dalam menunaikannya.
Masalah 634) Seseorang yang mengerjakan shalat tanpa bersuci dari hadats karena ketidaktahuan tentang masalah atau hukum syarinya; seperti orang yang tidak mengetahui bahwa ia telah junub dan ia tidak mandi, atau ia menunaikan shalat dengan mandi atau wudhu yang tidak sah, maka ia harus meng-qadha shalatnya.
Masalah 635) Qadha shalat wajib harus dilakukan seperti qadha yang seharusnya dilakukan; oleh karena itu, jika kewajiban mukalaf adalah shalat empat rakaat dan ia tidak mengerjakannya, maka ia harus melakukan qadha shalat empat rakaat (kendati ia melakukannya di perjalanan) dan jika ia tidak mengerjakan shalat-shalat empat rakaat dalam perjalanan (dimana kewajibannya adalah shalat qashar), maka ia harus menunaikannya secara qashar; meskipun ia tidak sedang dalam perjalanan.
Masalah 636) Qadha shalat wajib dapat dilakukan kapan saja sepanjang siang dan malam, dan tidak musti qadha shalat Subuh dikerjakan pada waktu shalat Subuh atau qadha shalat Dzuhur pada waktu shalat Dzuhur.
Masalah 637) Parameter dalam meng-qadha shalat adalah akhir waktu. Oleh karena itu, jika di akhir waktu dimana seseorang melewatkan shalatnya ia tengah berada dalam perjalanan, maka ia harus mengqadha shalatnya secara qashar; meskipun di awal waktu ia telah berada di wathannya, dan jika di akhir waktu ia tidak dalam perjalanan, maka ia harus menunaikan shalatnya secara sempurna; meskipun ia adalah seorang musafir di awal waktu.
Masalah 638) Tidak ada kewajiban untuk menjaga urutan dalam mengerjakan shalat qadha; kecuali pada qadha shalat Dzuhur dan Ashar satu hari dan qadha shalat Maghrib dan Isya satu hari.
Masalah 639) Orang yang tidak mengetahui jumlah shalat qadha yang harus ia lakukan, ia bisa mencukupkan diri dengan jumlah yang ia yakini.
Masalah 640) Orang yang masih memiliki shalat qadha bisa melaksanakan shalat ada. Tetapi jika ia hanya memiliki satu shalat qadha, maka ihtiyat wajib untuk melaksanakan shalat qadha terlebih dahulu; khususnya jika shalat qadhanya terkait dengan hari yang sama.
Masalah 641) Seseorang yang punya tanggungan shalat qadha, dapat menunaikan shalat nafilah dan shalat mustahab.
Masalah 642) Merngqadha shalat-shalat nafilah harian adalah mustahab.
- Shalat Istijarah
Shalat Istijarah
Masalah 643) Jika ada ibadah seperti shalat atau puasa yang tidak dilakukan oleh mayat di masa hidupnya, maka seseorang diperbolehkan menyewa orang lain untuk melakukan qadha atas nama mayat. Demikian juga diperbolehkan melakukannya secara cuma-cuma, dan dengan melakukan qadha ini, maka orang yang meninggal akan lepas dari tanggung jawabnya.
Masalah 644) Shalat yang diniatkan untuk mayat dengan cara menyewa orang lain disebut dengan shalat istijarah.
Masalah 645) Jika mayat telah membuat wasiat dalam hal menyewa seseorang untuk melakukan qadha shalatnya, maka sepertiga dari peninggalannya dipergunakan untuk melaksanakan wasiat tersebut, dan jika lebih dari itu, maka harus ada izin dari ahli waris.
Masalah 646) Orang yang disewa untuk menunaikan shalat istijaroh, saat mengerjakan shalat tidak perlu menyebutkan mayat dengan ciri-cirinya, tetapi identifikasi secara umum telah dianggap mencukupi. Misalnya, orang yang disewa untuk mengqadhakan shalat dua orang, jika ia berniat menunaikan shalat qadha untuk mayat pertama yang menyewanya, maka hal ini sudah dianggap mencukupi.
Masalah 647) Jika tidak ada syarat khusus dalam melaksanakan shalat istijaroh (seperti melakukannya secara berjamaah atau mengerjakannya di masjid), maka orang yang disewa hanya wajib melaksanakan shalat dengan kewajiban-kewajibannya.
Masalah 648) Sejenis tidak menjadi syarat dalam melaksanakan shalat qadha untuk mayat, berarti laki-laki bisa mengerjakan shalat qadha untuk perempuan dan perempuan bisa melakukan shalat qadha untuk laki-laki; baik itu untuk disewa atau c uma-cuma.
Masalah 649) Mengenai shalat dengan suara jahar ataukah ihfat, wakil harus bertindak sesuai dengan kewajibannya masing-masing. Oleh karena itu, jika seorang laki-laki menjadi wakil untuk mengerjakan shalat qadha seorang perempuan, maka ia tetap harus membaca al-Fatihah dan surah pada shalat-shalat Subuh, Maghrib dan Isya dengan suara keras (jahar).
Masalah 650) Orang yang menjadi wakil untuk mengerjakan shalat qadha mayat, maka ia harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Harus mengetahui masalah-masalah shalat secara benar, dengan ijtihad ataukah taqlid.
2. Dipercaya bahwa ia melakukan shalat dengan benar.
3. Tidak punya halangan atau uzur; misalnya orang yang shalat sambil duduk tidak bisa disewa untuk melakukan shalat qadha mayat. - Shalat Qadha untuk Orang Tua
Shalat Qadha untuk Orang Tua
Masalah 651) Wajib bagi anak laki-laki tertua untuk mengqadha shalat-shalat ayahnya dan ihtiyath wajib untuk mengqadhakan shalat ibunya yang telah meninggal.
Masalah 652) Jika ayah atau ibu sama sekali tidak mengerjakan shalat, maka berdasarkan ihtiyat wajib anak laki-laki tertua wajib melaksanakan shalat qadha untuk mereka.
Masalah 653) Yang dimaksud dengan anak laki-laki tertua adalah anak laki-laki tertua yang masih hidup pada saat orang tuanya meninggal dunia, baik ia sudah dewasa (baligh) maupun belum.
Masalah 654) Jika anak tertua almarhum adalah perempuan dan anak keduanya laki-laki, maka yang wajib untuk melakukan shalat qadha orang tua adalah anak laki-laki tertua yang merupakan anak kedua.
Masalah 655) Jika orang lain (selain anak laki-laki tertua) yang mengerjakan shalat qadha untuk orang tua, maka kewajiban itu menjadi gugur bagi anak laki-laki tertua.
Masalah 656) Anak laki-laki tertua wajib mengqadha jumlah shalat yang ia yakini tidak dilakukan oleh kedua orang tuanya, dan jika ia tidak mengetahui apakah mereka punya kewajiban shalat qadha atau tidak, maka tidak ada yang wajib bagi anak tertua, dan penyelidikan dalam hal ini tidak perlu dilakukan.
Masalah 657) Anak laki-laki tertua wajib mengerjakan shalat qadha orang tuanya dengan cara apapun yang memungkinkan, namun jika ia tidak mampu melakukannya, maka tidak ada kewajiban baginya.
Masalah 658) Seseorang yang memiliki tanggungan shalat qadha sendiri dan juga shalat qadha orang tuanya, maka ia mempunyai pilihan mana yang lebih awal akan ia kerjakan, ia boleh mengerjakan shalat qadhanya sendiri terlebih dahulu atau sebaliknya.
Masalah 659) Jika anak laki-laki tertua meninggal setelah kematian orang tuanya, maka anak-anak yang lain tidak wajib mengqadhakan shalat orang tuanya.
- Shalat-Shalat Ayat
- Shalat Idul Fitri dan Idul Qurban
Shalat Idul Fitri dan Idul Qurban
Masalah 681) Pada masa kehadiran Ma’shum as, shalat Idul Fitri dan Idul Qurban adalah wajib dan harus dilakukan secara berjamaah, sementara pada zaman sekarang ini (yang merupakan kegaiban kubra) hukumnya menjadi sunnah.
Masalah 682) Waktu shalat Idul Fitri dan Idul Qurban adalah dari awal terbitnya matahari pada hari raya hingga Dzuhur.
Masalah 683) Disunnahkan melakukan shalat Idul Adha setelah matahari naik, dan pada Idul Fitri disunnahkan terlebih dahulu memakan sesuatu setelah matahari terbit dan membayar zakat fitrah, kemudian baru mengerjakan shalat Idul Fitri.
Masalah 684) Shalat Idul Fitri dan Idul Qurban terdiri dari dua rakaat, pada rakaat pertama, setelah membaca Al-Fatihah dan surah, harus mengucapkan lima takbir, dan setelah setiap takbir, membaca satu qunut, dan setelah qunut yang kelima, membaca takbir lagi, lalu ruku’ dan berdiri setelah dua sujud dan pada rakaat kedua, setelah membaca Al-Fatihah dan surah, mengucapkan empat takbir dan setelah setiap takbir, membaca qunut dan mengucapkan takbir kelima, lalu ruku’ dan melanjutkan serta menyelesaikan shalat.
Masalah 685) Pada shalat Idul Fitri dan Idul Qurban disunnahkan untuk membaca dengan suara keras.
Masalah 686) Shalat Idul Fitri tidak memiliki surah khusus, namun lebih baik untuk membaca surah al-Syams pada rakaat pertama dan surah al-Ghasyiyah pada rakaat kedua, atau surah sl-A’la pada rakaat pertama dan surah al-Syams pada rakaat kedua.
Masalah 687) Dalam qunut shalat Idul Fitri dan Idul Qurban, melafalkan permohonan dan zikir apapun telah dianggap mencukupi, tetapi lebih utama untuk membaca doa berikut ini dengan harapan memperoleh pahala:
"اَللّهُمَّ اَهلَ الکِبریاءِ وَ العَظَمَةِ وَ اَهلَ الجوُدِ وَ الجَبَروُتِ وَ اَهلَ العَفوِ وَ الرَّحمَةِ وَ اَهلَ التَّقوی وَ المَغفِرَةِ اَساَلُکَ بِحَقِّ هذَا الیَومِ الَّذی جَعَلتَهُ لِلمُسلِمینَ عیداً وَ لِمُحَمَّدٍ صَلَّی اللهُ عَلَیهِ وَ آلِهِ ذُخراً وَ شَرَفاً وَ کَرامَةً وَ مَزیداً اَن تُصَلِّیَ عَلی مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ وَ اَن تُدخِلَنی فی کُلِّ خَیرٍ اَدخَلتَ فیهِ مُحَمَّداً وَ آلَ مُحَمَّدٍ و اَن تُخرِجَنی مِن کُلِّ سوُءٍ اَخرَجتَ مِنهُ مُحَمَّداً وَ آلَ مُحَمَّدٍ صَلَواتُکَ عَلَیهِ وَ عَلَیهِم اَللّهُمَّ اِنّی اَساَلُکَ خَیرَ ما سَاَلَکَ بِهِ عِبادُکَ الصّالِحونَ وَ اَعوذُ بِکَ مِمَّا استَعاذَ مِنهُ عِبادُکَ المُخلَصونَ"
Allahumma Ahlal Kibriyai wal ‘Azhamah wa Ahlal Judi wal Jabarut wa Ahlal ‘Afwi wa al-Rahmah wa Ahlattaqwa wal Maghfirah As’aluka bihaqqi Hadzal Yaumi al-Ladzi Ja’altahu Lilmuslimina ‘Idan wa Limuhammadin Shallallahu ‘Alaihi wa Alihi Dzukran wa Syarafan wa Karamatan wa Mazidan Antushalliya ‘ala Muhammadin wa Ali Muhammadin wa Antudkhilani fi kulli Khairin Adkhalta fihi Muhammadan wa Ala Muhammadin wa Antukhrijani min Kulli su’in Akhrajta minhu Muhammadan wa Ala Muhammadin Shalawatuka ‘Alaihi wa ‘Alaihim Allahumma Inni As’aluka Khaira ma sa’alaka bihi ‘Ibaduka al-Shalihuna wa A’udzu bika Mimmas Ta’adza minhu ‘Ibadukal Mukhlashun.
(Ya Allah, wahai pemilik kebesaran dan keagungan, wahai pemilik kedermawanan dan keagungan, wahai pemilik maaf dan rahmat, wahai pemilik takwa dan ampunan, aku memohon kepada-Mu demi hak hari ini yang telah Kau jadikan bagi Muslimin sebagai hari raya dan bagi Muhammad saw sebagai simpanan, kemuliaan dan tambahan (kedudukan) agar Kau curahkan shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, memasukkanlah aku dalam setiap kebaikan yang telah Kau masukkan di dalamnya Muhammad dan keluarga Muhammad, dan keluarkanlah aku dari setiap keburukan yang darinya telah Engkau keluarkan Muhammad dan keluarga Muhammad, shalawat-Mu atasnya dan atas mereka semua. Ya Allah, aku mohon kepada-Mu kebaikan apa yang telah diminta oleh hamba-hamba-Mu yang salih kepadaMu dan aku berlindung kepadaMu dari apa yang hamba-hamba-Mu yang salih berlindung kepada-Mu darinya).
Masalah 688) Membaca qunut yang pendek atau panjang pada shalat Idul Fitri dan Idul Adha tidak masalah, akan tetapi tidak boleh menambah atau mengurangi jumlahnya.
Masalah 689) Jika mushalli ragu dalam takbir shalat dan qunutnya, jika ia belum melewati tempatnya, hendaknya menetapkan yang sedikit, dan jika ternyata kemudian diketahui sudah dibaca, maka hal itu tidak masalah.
Masalah 690) Jika yang dilupakan adalah bacaan, takbir atau qunut, maka shalatnya dianggap sah, akan tetapi jika yang dilupakan adalah ruku’, dua sujud atau takbiratul-ihram, maka shalatnya batal.
Masalah 691) Tidak ada shalat qadha untuk Idul Fitri dan Idul Qurban.
- Shalat Berjamaah
- Shalat Jumat
-
- Ibadah Puasa