Terima:
Fikih Praktis Shalat dan Puasa
- Shalat
- Shalat-Shalat Wajib
Shalat-Shalat Wajib
Masalah 1) Shalat-shalat wajib terdiri dari:
1. Shalat harian (yaumiyah);
2. Shalat Tawaf yang dilakukan setelah tawaf wajib Ka'bah;
3. Shalat ayat yang dilakukan pada saat gerhana matahari, gerhana bulan, gempa bumi, dan sejenisnya;
4. Shalat mayat, yang dikerjakan untuk seorang Muslim yang telah meninggal dunia;
5. Shalat qadha ayah dan menurut ihtiyat wajib juga untuk ibu, yang wajib bagi anak laki-laki tertua;
6. Shalat yang wajib dikerjakan karena perjanjian, nazar, sumpah, atau sewa.
* Pada dasarnya yang wajib adalah pelaksanaan nazar, perjanjian, sumpah, dan sewa, bukan karena shalat mustahab berubah menjadi shalat wajib.
- Shalat-shalat Harian
Shalat-shalat Harian
Masalah 2) Shalat harian (yaumiyah) adalah salah satu kewajiban terpenting dari syariat Islam, bahkan merupakan ruku’n agama dan tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun.
Masalah 3) Shalat-shalat wajib yaumiyah ini ada tujuh belas rakaat, yang terdiri dari:
Shalat Subuh (dua rakaat),
Shalat Dzuhur (empat rakaat),
Shalat Ashar (empat rakaat),
Shalat Maghrib (tiga rakaat),
Shalat Isya (empat rakaat).
- Waktu Shalat Subuh
Waktu Shalat Subuh
Masalah 4) Waktu shalat Subuh dimulai dari terbit fajar (Fajar Shadiq)* sampai terbit matahari.
* Fajar Shadiq adalah kebalikan dari fajar Kadzib dimana fajar Kadzib adalah cahaya yang muncul di langit beberapa saat sebelum fajar Shadiq dan alih-alih menyebar ke cakrawala, cahaya fajar ini justru memantul secara vertikal ke atas. Sementara fajar Shadiq adalah waktu ketika cahaya putih yang terhubung ke permukaan cakrawala naik dengan kecerahan rendah dan menyebar di cakrawala, dan seiring berjalannya waktu, intensitas cahayanya meningkat. Karena kelemahan Fajar Sadiq, maka menyaksikannya membutuhkan ufuk timur yang benar-benar terbuka dan gelap, dimana hal ini sangat sulit dilihat di dalam kota. Karena sulit untuk mendeteksi fajar ini secara akurat, maka hendaknya ihtiyat (berhati-hati) selama beberapa menit.
Masalah 5) Dalam realisasi terbitnya fajar (awal waktu shalat subuh), tidak ada perbedaan antara malam terang bulan dan malam tidak terang bulan, akan tetapi lebih baik bagi yang hendak shalat pada malam terang bulan untuk menunggu sampai fajar menyingsing dari terangnya cahaya bulan, baru kemudian melakukan shalat.
- Waktu Shalat Dhuhur dan Ashar
Waktu Shalat Dhuhur dan Ashar
Masalah 6) Waktu shalat Dzuhur adalah dari awal Dzuhur (matahari tergelincir)* sampai waktu yang tersisa hingga matahari terbenam hanya seukuran untuk shalat Ashar.
* Saat matahari terbit dari timur, bayangan benda-benda akan memanjang ke arah barat, dimana ketika matahari semakin tinggi maka bayangannya pun akan semakin pendek, hingga matahari berada di tengah langit; pada saat ini, jika matahari bersinar secara vertikal, maka bayangan akan menghilang, akan tetapi jika bersinar dengan sedikit miring maka bayangan pendek akan tetap berada di sisi utara atau selatan. Setelah matahari miring ke barat, bayang-bayang yang telah menghilang akan muncul di bagian timur, atau jika ada yang tersisa maka bayangan ini akan bertambah di bagian timur dimana inilah waktu shalat Dzuhur. Demikian juga, setengah jarak antara terbit dan terbenamnya matahari merupakan waktu Dzuhur syar’i.
Masalah 7) Waktu shalat Ashar dimulai dari awal Dzuhur setelah terlewati waktu seukuran shalat Dzuhur, hingga matahari terbenam.
Masalah 8) Shalat Dzuhur dan Ashar masing-masing memiliki waktu khusus dan umum (gabungan); waktu khusus shalat Dzuhur adalah dari awal Dzuhur hingga waktu seukuran untuk shalat Dzuhur, dan waktu khusus shalat Ashar adalah ketika waktu yang tersisa hingga terbenamnya matahari hanya seukuran untuk melaksanakan shalat Ashar, dan selang waktu antara waktu khusus shalat Dzuhur dan waktu khusus shalat Ashar merupakan waktu gabungan shalat Dzuhur dan shalat Ashar.
Masalah 9) Jika mukallaf hingga waktu khusus shalat Ashar belum melaksanakan shalat Dzuhur, maka shalat Dzuhurnya menjadi qadha dan ia wajib melaksanakan shalat Ashar pada waktu itu.
- Waktu Shalat Maghrib dan Shalat Isya
Waktu Shalat Maghrib dan Shalat Isya
Masalah 10) Waktu shalat Maghrib dimulai sejak menghilangnya mega merah di langit sebelah timur (yang terlihat setelah matahari terbenam) hingga waktu yang tersisa hingga tengah malam hanya seukuran untuk shalat Isya.
Masalah 11) Waktu shalat Isya terhitung sejak lewatnya seukuran waktu melaksanakan shalat Maghrib dari awal Maghrib hingga tengah malam.
Masalah 12) Tengah malam (untuk shalat Maghrib dan Isya) adalah setengah waktu antara matahari terbenam hingga fajar shadiq.
Masalah 13) Shalat Maghrib dan Isya masing-masing memiliki waktu khusus dan umum (gabungan); waktu khusus shalat Maghrib adalah dari awal Maghrib sampai berlalunya waktu untuk melaksanakan tiga rakaat shalat Maghrib, sedangkan waktu khusus shalat Isya adalah bila masih ada cukup waktu untuk shalat Isya hingga tengah malam, dan jeda waktu antara waktu khusus shalat Maghrib dan waktu khusus shalat Isya adalah waktu umum (gabungan) shalat Maghrib dan shalat Isya.
Masalah 14) Jika mukallaf belum melaksanakan shalat Maghrib hingga tiba waktu khusus shalat Isya, maka ia wajib melaksanakan shalat Isya terlebih dahulu baru kemudian menunaikan shalat Maghrib.
Masalah 15) Jika seseorang tidak melaksanakan shalat Maghrib atau Isya hingga tengah malam karena maksiat (sengaja. penj) atau karena uzur, maka berdasarkan ihtiyat wajib (kehati-hatian wajib), ia harus melakukannya hingga sebelum adzan Subuh tanpa niat ada ataupun qadha (melainkan dengan niat ma fi dzimmah).
- Hukum-hukum Waktu Shalat
Hukum-hukum Waktu Shalat
Masalah 16) Sunnah bagi seseorang untuk menunaikan shalat di awal waktu, terdapat perintah yang kuat terkait masalah ini dalam aturan-aturan Islam, dan jika ia tidak bisa mengerjakan shalat di awal waktu, maka semakin dekat dengan awal waktu akan semakin baik, kecuali jika penundaannya dikarenakan sesuatu yang lebih baik, misalnya karena ingin menunaikannya secara berjamaah.
Masalah 17) Untuk menentukan waktu shalat lima waktu (bahkan di daerah yang dekat dengan kutub), tetap harus memperhatikan dan berdasarkan ufuk tempat tinggalnya.
Masalah 18) Untuk melaksanakan shalat, mukallaf harus yakin atau merasa mantap (itmi’nan) bahwa waktunya telah masuk, atau dua orang adil mengumumkan bahwa waktunya telah masuk, atau seorang muazin yang terpercaya dan tepat waktu telah mengumandangkan adzan.
Masalah 19) Jika seseorang yakin bahwa waktu shalat telah masuk kemudian melakukan shalat, dan di pertengahan shalat ia ragu apakah waktunya telah masuk ataukah belum, maka shalatnya batal, tetapi jika di pertengahan shalat ia yakin waktunya sudah masuk lalu ragu apakah bagian dari shalat yang telah dikerjakannya sudah masuk waktunya ataukah belum, maka shalatnya dianggap sah.
Masalah 20) Jika mukallaf merasa mantap (itmi’nan) tentang masuknya waktu syar’i melalui pengumuman yang disampaikan oleh media massa dan sejenisnya, maka ia boleh mengerjakan shalat.
Masalah 21) Ketika mukallaf telah yakin bahwa waktu shalat telah tiba dengan dimulainya adzan, maka ia boleh menunaikan ibadah shalat tanpa harus menunggu adzan berakhir.*
* Tentunya seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terkait shalat Subuh, untuk menjaga ihtiyat (kehati-hatian) harus dilakukan sekitar sepuluh menit setelah dimulainya adzan.
Masalah 22) Jika penagih hutang meminta piutangnya pada waktu shalat, dan seseorang memiliki kemampuan untuk membayarnya, maka ia harus membayar hutangnya terlebih dahulu kemudian menunaikan shalat, demikian juga ketika ada tugas penting lainnya yang mendesak. Tentu saja, jika waktu shalatnya sempit, maka ia harus menunaikan shalat terlebih dahulu.
Masalah 23) Jika waktu shalat sangat sempit sehingga ketika melakukan sebagian dari hal-hal yang sunnah dalam shalat akan menyebabkan sebagian shalat dilakukan di luar waktu, maka hal-hal yang sunnah tersebut tidak boleh dikerjakan; misalnya, jika dengan membaca Qunut, sebagian dari shalat dikerjakan di luar waktu, maka tidak boleh membaca Qunut.
Masalah 24) Seseorang yang mempunyai waktu yang cukup untuk melaksanakan shalat satu rakaat, hendaknya shalat tersebut dilakukan dengan niat shalat ada, tetapi ia tidak boleh sengaja menunda shalatnya sampai waktu itu.
Masalah 25) Jika waktu hingga matahari terbenam cukup untuk melakukan lima rekaat shalat, maka shalat Dzuhur dan Ashar harus dilakukan, namun jika waktunya kurang dari itu, maka hanya shalat Ashar yang dilakukan dan shalat Dzuhurnya menjadi qadha; demikian juga jika waktu hingga tengah malam cukup untuk melakukan lima rekaat shalat, maka shalat Maghrib dan juga shalat Isya harus dilakukan; namun jika waktunya kurang dari itu maka harus melakukan shalat Isya terlebih dahulu, setelah itu baru shalat Maghrib, dan berdasarkan Ihtiyat wajib, tidak melakukannya dengan niat ada maupun qadha, tetapi dengan niat ma fi dzimmah.
Masalah 26) Jika hingga matahari terbenam, seorang musafir memiliki waktu yang cukup untuk melakukan tiga rekaat shalat, maka ia harus melakukan shalat Dzuhur dan Ashar, dan jika ia memiliki sedikit waktu, maka hanya shalat Ashar saja dan shalat Dzuhurnya dilakukan dengan niat qadha, demikian juga jika sampai tengah malam ia memiliki waktu yang cukup untuk melakukan shalat empat rakaat, maka ia harus menunaikan shalat Maghrib dan Isya, dan jika waktunya kurang dari itu, maka ia harus menunaikan shalat Isya terlebih dahulu baru kemudian berdasarkan Ihtiyat Wajib menunaikan shalat Maghrib tanpa niat ada dan qadha (melainkan dengan niat ma fi dzimmah) dan jika setelah menunaikan shalat Isya ternyata masih ada waktu untuk satu rakaat atau lebih yang tersisa hingga tengah malam, maka hendaknya segera menunaikan shalat Maghrib dengan niat ada.
- Ketertiban Shalat
Ketertiban Shalat
Masalah 27) Shalat Ashar harus dilakukan setelah shalat Dzuhur dan shalat Isya setelah shalat Maghrib, dan jika sengaja menunaikannya tanpa urutan ini maka shalatnya tidak sah.
Masalah 28) Jika karena kesalahan atau kelalaian, seseorang menunaikan shalat Ashar sebelum shalat Dzuhur, atau shalat Isya sebelum shalat Maghrib, dan ia menyadarinya setelah shalat selesai, maka shalatnya sah.
Masalah 29) Jika seseorang memulai shalat Ashar dengan menyangka telah menunaikan shalat Dzuhur, lalu di pertengahan shalat menyadari bahwa ia belum shalat Dzuhur, jika ia berada pada waktu gabungan shalat Dzuhur dan Ashar, maka hendaknya ia segera mengubah niatnya ke shalat Dzuhur dan menyelesaikannya, setelah itu baru melaksanakan shalat Ashar; dan jika ia berada pada waktu khusus shalat Dzuhur, maka berdasarkan ihtiyat wajib, ia harus mengembalikan niatnya ke shalat Dzuhur lalu menyelesaikannya, tetapi kemudian ia juga harus menunaikan kedua shalat (Dzuhur dan Ashar) secara berurutan.
Masalah 30) Jika seseorang mengira telah menunaikan shalat Maghrib sehingga ia melakukan shalat Isya, dan seusai shalat ia menyadari telah melakukan kesalahan, jika itu berada di waktu gabungan shalat Maghrib dan Isya dan belum menunaikan rakaat keempat, maka ia harus mengubah niatnya ke shalat Maghrib, menyelesaikan shalatnya, baru kemudian melakukan shalat Isya, tetapi jika ia telah melakukan ruku’ rakaat keempat, maka berdasarkan ihtiyat ia harus menyelesaikan shalatnya, setelah itu melakukan shalat Maghrib dan Isya secara berurutan. Demikian juga, jika berada pada waktu khusus shalat Maghrib dan ia belum memasuki ruku’ rakaat keempat, maka ihtiyat wajib hendaknya mengubah niat ke shalat Maghrib dan menyelesaikanya, baru kemudian melakukan kedua shalat secara berurutan.
Masalah 31) Jika seseorang melakukan shalat dengan niat shalat Dzuhur kemudian di pertengahannya teringat bahwa ia telah menunaikan shalat Dzuhur, maka ia tidak bisa mengubah niatnya ke shalat Ashar, melainkan harus meninggalkannya lalu melakukan shalat Ashar. Sama halnya jika ia mengerjakan shalat Maghrib dan di pertengahan shalat menyadari bahwa ia telah melakukan shalat Maghrib.
- Shalat-shalat Sunnah atau Mustahab
Shalat-shalat Sunnah atau Mustahab
Masalah 32) Ada banyak shalat mustahab yang dianjurkan, di antaranya adalah shalat nafilah harian (sepanjang siang-malam), terutama shalat malam yang sangat dianjurkan.
Masalah 33) Shalat nafilah harian adalah shalat-shalat yang sunnah dilakukan di sepanjang siang dan malam. Ini merupakan shalat yang sangat penting untuk dilakukan dan disebutkan bahwa banyak pahala dan imbalan yang telah disediakan untuk itu.
Di antara shalat-shalat mustahab adalah: shalat malam, yang dilakukan mulai dari tengah malam dan setelahnya, memiliki keutamaan khusus dan unik di antara semua shalat sunnah. Shalat ini memiliki banyak khasiat spiritual dan sudah sepantasnya umat Islam memberikan perhatiannya terhadap masalah ini.
Masalah 34) Yang termasuk shalat-shalat sunnah/mustahab harian adalah:
1. Nafilah Dzuhur: dilakukan sebelum shalat Dzuhur sebanyak delapan rakaat (empat shalat dengan dua rakaat pada setiap shalatnya);2. Nafilah Ashar: dilakukan sebelum shalat Ashar sebanyak delapan rakaat (empat shalat dengan dua rakaat pada setiap shalatnya);
3. Nafilah Maghrib: dilakukan setelah shalat Maghrib sebanyak empat rakaat (dua shalat dengan masing-masing dua rakaat);
4. Nafilah Isya: dilakukan setelah shalat Isya sebanyak dua rakaat (dengan cara duduk);** Karena dua rakaat shalat nafilah Isya dengan duduk dihitung sebagai satu rakaat, maka jumlah keseluruhan shalat nafilah harian adalah tiga puluh empat rakaat (dua kali lipat jumlah rakaat shalat wajib).
5. Nafilah Subuh, dua rakaat sebelum shalat Subuh;
6. Nafilah Malam (shalat tahajjud), sebelas rakaat dari tengah malam hingga adzan Subuh; (lebih utama mengerjakannya di sepertiga malam terakhir, dan semakin dekat dengan fajar maka semakin besar keutamaannya).Masalah 35) Nafilah Dzuhur dan Ashar pada hari Jumat berjumlah dua puluh rakaat; yaitu ada penambahan empat rakaat pada nafilah shalat Dzuhur dan Ashar, keseluruhan 20 rakaat ini lebih utama dikerjakan sebelum tergelincir matahari, namun tidak masalah jika dilakukan setelah tergelincir hingga terbenam matahari.
Masalah 36) Jika nafilah shalat Dzuhur dan Ashar masih berada pada waktu nafilah*, tetapi dilakukan setelah shalat Dzuhur dan Ashar, maka secara ihtiyat wajib, harus dikerjakan tanpa niat ada atau qadha (melainkan dengan niat ma fi dzimmah).
* Waktu nafilah shalat Dzuhur adalah dari awal Dzuhur sampai ketika bayangan tiang yang ditemukan setelah Dhuhur berukuran dua per tujuhnya. Misalnya, jika panjang tiang adalah tujuh jengkal, maka bila ukuran bayangan yang ditemukan pada siang hari telah mencapai dua jengkal, maka itu merupakan akhir waktu nafilah Dzuhur. Sedangkan waktu nafilah Ashar adalah hingga ketika bayangan tiang yang dijumpai pada siang hari mencapai empat per tujuh bagiannya.
Masalah 37) Tata cara shalat malam adalah seperti berikut: pertama melakukan shalat sebanyak empat shalat dimana masing-masingnya dua rakaat dengan niat “shalat malam”, dikerjakan sama seperti shalat Subuh, setelah itu melakukan dua rakaat dengan niat “shalat Syafa” dilanjutkan dengan melakukan satu rakaat dengan niat “shalat witir” dimana dalam doa qunutnya mustahab untuk memohon pengampunan dan doa bagi orang-orang beriman dan memohon kepada Allah untuk mengabulkan segala hajat, sebagaimana disebutkan dalam buku-buku doa.
Masalah 38) Seorang musafir atau kaum muda yang merasa kesulitan untuk melaksanakan shalat malam pada waktunya, atau seseorang yang memiliki uzur seperti sudah tua atau sakit, dapat melaksanakan shalat malam sebelum tengah malam.
Masalah 39) Tidak wajib membaca surah dalam shalat nafilah, melainkan cukup membaca surah al-Fatihah di setiap rakaat, kendati disarankan dan mustahab untuk membaca surah.
Masalah 40) Shalat-shalat nafilah dilaksanakan per dua rakaat (kecuali shalat Witir yang hanya satu rakaat) dan semuanya bisa dikerjakan sambil duduk, meskipun lebih baik dan lebih utama jika dilakukan dengan berdiri, dan jika dilakukan dengan cara duduk, maka disunnahkan setiap dua rakaatnya dihitung satu rakaat, kecuali shalat wutairah (shalat nafilah Isya) yang secara ihtiyat dilakukan dengan duduk dan bukan dengan berdiri.
- Kiblat
Kiblat
Masalah 41) Mukallaf wajib menunaikan shalatnya menghadap ke arah Ka’bah, atau disebut "kiblat". Tentu saja, bagi mereka yang jauh dan tidak mungkin berhadapan langsung dengan yang sebenarnya, maka sekedar bisa dikatakan bahwa mereka menunaikan shalat menghadap ke arah kiblat, telah dianggap mencukupi.
Masalah 42) Shalat-shalat sunnah dapat dikerjakan dalam keadaan berjalan atau saat berkendara, dan dalam hal ini tidak perlu menghadap ke arah kiblat.
Masalah 43) Shalat ihtiyath, sujud, dan tasyahhud lupa harus dilakukan dengan menghadap kiblat, dan untuk sujud sahwi ihtiyath juga mustahab untuk menghadap ke arah kiblat.
Masalah 44) Orang yang melakukan shalat harus yakin dan atau merasa mantap (ithmi’nan) tentang arah kiblat, baik melalui penunjuk kiblat yang benar dan sah, melalui pancaran matahari* dan bintang (jika ia mengetahui penggunaannya) atau melalui cara lain, dan jika tidak yakin, maka ia harus mengerjakan shalatnya menghadap ke arah mana pun yang menurut dugaannya paling kuat; seperti dugaan yang didapat dari letak dan keberadaan mimbar masjid.
* Dikatakan bahwa pada tanggal 7 Khurdad dan 25 Tir pada saat Dhuhur ufuk Mekkah, matahari memancar secara vertikal tepat di atas Ka'bah sebagaimana sebuah tiang atau paku yang kita tancapkan tegak lurus di permukaan tanah, arah yang ditunjukkan oleh bayangan tiang pada waktu Dzuhur ufuk Mekkah ini merupakan arah yang berlawanan dengan arah kiblat (yaitu arah kiblat berada di sepanjang bayangan pada sisi tiang yang tidak ada bayangan). Jika ini bisa memberi rasa mantap (ithmi’nan) tentang arah kiblat, maka diperbolehkan untuk bertindak sesuai dengannya.
Masalah 45) Seseorang yang sama sekali tidak dapat menemukan arah kiblat dan juga tidak memiliki dugaan kuat ke suatu arah, maka berdasarkan ihtiyath wajib, ia harus shalat dengan menghadap ke empat arah, dan jika ia tidak memiliki waktu untuk melakukan empat shalat, maka ia harus melakukan shalat sebanyak waktu yang ia miliki.
Masalah 46) Jika seseorang membuat kesalahan tentang arah kiblat meskipun telah menyelidikinya, namun penyimpangan dari arah kiblat tidak sampai ke kanan atau kiri kiblat (sekitar 90 derajat), maka shalatnya sah dan jika ia menyadari kesalahan ini di pertengahan shalat, maka ia harus melanjutkan sisa shalatnya dengan menghadap ke arah kiblat dan tidak masalah apakah ada cukup waktu atau tidak.
Masalah 47) Seseorang yang tidak yakin dengan arah kiblat, maka pada sisa pekerjaan yang harus dilakukan dengan menghadap kiblat, seperti menyembelih hewan, dan lain-lain, harus ia lakukan sesuai dengan asumsi dan dugaannya, dan jika ia tidak memiliki dugaan tentang arah dan segala arah adalah sama baginya, maka ke arah manapun melakukannya, adalah benar dan sah.
- Pakaian dalam Shalat
- Syarat-syarat Tempat Shalat
- Hukum-hukum Masjid
Hukum-hukum Masjid
Masalah 115) Haram mengotori lantai, langit-langit, dinding, dan atap masjid, dan jika najis, maka wajib untuk segera mensucikannya.
Masalah 116) Mensucikan masjid hukumnya wajib kifayah* dimana tidak hanya wajib bagi orang yang menajisi masjid atau menyebabkannya najis, melainkan wajib bagi semua orang yang bisa mensucikannya.
* Wajib kifayah yang merupakan lawan dari wajib ‘aini, adalah suatu kewajiban yang pada awalnya ditujukan untuk setiap orang, tetapi ketika telah dilakukan oleh sebagian maka kewajiban tersebut akan gugur dari yang lain, namun jika tidak ada satu pun yang melakukannya maka semua orang akan berdosa; seperti mensucikan masjid dan mengurus jenazah. Sedangkan wajib ‘aini adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh semua mukallaf, seperti shalat, khumus, zakat dsb.
Masalah 117) Haram mengotori atau menajisi tempat suci para Imam as, dan jika najis dan kenajisannya dianggap penistaan maka wajib untuk membersihkan dan mensucikannya, dan jika tidak menodai kemuliaannya, maka membersihkan dan mensucikannya termasuk perbuatan baik.
Masalah 118) Dilarang menghias masjid dengan emas jika dianggap boros, dan jika tidak maka dianggap makruh.
Masalah 119) Wajib menghormati harkat dan martabat masjid serta menghindari perbuatan yang bertentangan dengan harkat dan martabatnya.
Masalah 120) Tidak ada masalah mengadakan kegiatan dan kelas-kelas pendidikan jika tidak bertentangan dengan martabat masjid atau mengganggu shalat jamaah dan orang-orang yang menunaikan shalat.
Masalah 121) Tidak diperbolehkan menghancurkan seluruh atau sebagian masjid, kecuali ada kepentingan yang tidak dapat dan tidak mungkin diabaikan.
Masalah 122) Mesjid yang dirampas atau dihancurkan dan dibangun bangunan lain sebagai gantinya atau bekas-bekasnya sebagai masjid menjadi hilang karena ditinggalkan dan juga tidak ada harapan untuk membangunnya kembali, maka hukum keharaman menajisinya menjadi tidak jelas, meskipun ihtiyat mustahab untuk tidak menajiskannya.
Masalah 123) Jika sebuah masjid runtuh di jalan dalam rencana pembangunan kota dan sebagian dihancurkan karena keadaan darurat dan tidak ada kemungkinan untuk kembali ke keadaan semula, maka ia tidak memiliki hukum syar’i sebuah masjid.
Masalah 124) Tidak boleh membangun museum atau perpustakaan dan sejenisnya di sudut halaman masjid jika hal tersebut bertentangan dengan kualitas wakaf halaman masjid, atau jika menyebabkan perubahan struktur masjid.
Masalah 125) Jika tempat bergerak dan tidak tetap seperti kendaraan diwakafkan sebagai masjid, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia dihukumi sebagai masjid dan hukum-hukum masjid berlaku untuknya.
Masalah 126) Sunnah hukumnya untuk membersihkan dan memakmurkan masjid, dan siapa pun yang ingin pergi ke masjid hendaklah memakai wangi-wangian, mengenakan pakaian yang bersih dan baik, menjaga agar sepatu atau kakinya tidak terkontaminasi oleh najis atau kotoran, pergi ke masjid lebih awal dari yang lain dan keluar dari masjid paling akhir, masuk dan keluar masjid dengan hati yang khusuk dan memperbanyak dzikir, menunaikan shalat dua rakaat dengan niat tahiyatul masjid saat memasuki masjid, tentunya sudah dianggap mencukupi jika melakukan shalat wajib atau shalat sunnah lain.
Masalah 127) Tidur di masjid hukumnya makruh.
Masalah 128) Musholla dan Husainiyah tidak memiliki hukum seperti masjid.
- Adzan dan Iqamah
Adzan dan Iqamah
Masalah 129) Disunnahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqamah sebelum shalat wajib yaumiyah, dan sunnah ini lebih ditekankan untuk shalat Subuh dan Maghrib; terutama shalat berjamaah, namun tidak ada keterangan tentang adzan dan iqamah untuk shalat wajib lainnya, seperti untuk shalat ayat.
Masalah 130) Adzan terdiri dari delapan belas kalimat, dengan urutan sebagai berikut:
اَللهُ اَکْبَرُ
“Allah Mahabesar” empat kali,
اَشْهَد اَنْ لا اِلهَ اِلاَّ اللهُ
“Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah” dua kali.
اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّداً (صلّ الله علیه و آله )رَسُولُ اللهِ
“Saya bersaksi bahwa Muhammad (saw) adalah utusan Allah” dua kali.
حَیَّ عَلَی الصَّلاةِ
“Marilah kita mengerjakan shalat” dua kali
حَیَّ عَلَی الفَلاحِ
“Marilah kita menuju kemenangan” dua kali,
حَیَّ عَلی خَیْرِ العَمَلِ
“Marilah kita menuju sebaik-baiknya amal” dua kali,
اَللهُ اَکْبَرُ
“Allah Mahabesar” dua kali,
لا اِلهَ اِلاَّ اللهُ
"Tidak ada Tuhan selain Allah" dua kali.
Sedangkan bacaan iqamah sama seperti bacaan adzan, dengan perbedaan: kalimat awal “Allahu Akbar” diucapkan dua kali, dan setelah mengucapkan “Hayya ‘ala khairil amal” mengucapkan dua kali “qad qamat al-shalah”, dan di akhiri dengan “la ilaha illallah” satu kali.
Masalah 131) Mengucapkan, «اَشْهَدُ اَنَّ عَلِیّاً وَلیُّ اللهِ» “Aku bersaksi bahwa Ali adalah Wali Allah” adalah baik dan penting sebagai semboyan Syiah, tetapi ini bukan bagian dari adzan dan iqamah sehingga harus diucapkan dengan niat dan maksud mutlak untuk kedekatan (qurbatan).
Masalah 132) Mengumandangkan adzan (untuk mengumumkan masuknya waktu shalat) dan pengulangannya oleh pendengar adalah sangat dianjurkan (sunnah muakkad).
Masalah 133) Tidak ada masalah mengeraskan adzan melalui pengeras suara dari masjid dan tempat lain untuk mengumumkan masuknya waktu shalat, tetapi tidak diperbolehkan mengeraskan bacaan ayat-ayat al-Qur'an, doa-doa, dan lain-lain, jika hal itu menyebabkan masalah dan mengganggu warga sekitar.
Masalah 134) Jika adzan dan iqamah untuk shalat jamaah telah dikumandangkan, maka jamaah shalat tidak perlu lagi mengucapkan adzan dan iqamah untuk shalatnya.
Masalah 135) Sunnah hukumnya berwudhu atau mandi dan berdiri menghadap kiblat saat adzan, meletakkan tangannya di samping telinga, meninggikan dan merendahkan suara serta memberikan jarak antara kalimat adzan dan tidak berbicara di sela-selanya.
Masalah 136) Sunnah hukumnya ketika mengucapkan iqamah, badan dalam keadaan tenang, mengatakannya lebih lambat dari adzan dan tidak menggabungkan kalimat satu dengan yang lain. Tapi antara kalimat-kalimat iqamah jangan diucapkan terlalu berjeda seperti yang dilakukan pada kalimat-kalimat adzan.
Masalah 137) Hendaklah antara adzan dan iqamah untuk duduk sejenak, atau sujud, atau membaca tasbih, diam sejenak, mengatakan sesuatu, berdoa, atau melakukan shalat dua rakaat.
- Kewajiban-kewajiban Shalat
- 1. Niat
1. Niat
Masalah 141) Niat (yang merupakan salah satu kewajiban rukun) adalah maksud melaksanakan shalat karena mentaati perintah Allah.
Masalah 142) Niat tidak harus diucapkan secara lisan, misalnya dengan mengatakan, saya akan melakukan shalat Dzuhur empat rakaat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Juga, tidak ada keharusan baginya untuk menyampaikannya melalui pikiran atau hatinya, melainkan cukup dengan memiliki niat untuk melakukan tindakan itu demi mematuhi perintah Ilahi.
Masalah 143) Seorang mushalli wajib mengetahui shalat apa yang ia lakukan, oleh karena itu jika ia berniat melakukan shalat empat rakaat tetapi tidak menentukan shalatnya adalah shalat Dzuhur ataukah Ashar, maka shalatnya batal.
Masalah 144) Hendaknya seseorang melaksanakan shalatnya hanya dengan niat untuk menaati perintah Allah, oleh karena itu jika ia mengerjakan shalatnya karena riya, yaitu berpura-pura religius dan sejenisnya, maka hal itu haram dan membatalkan shalat.
Masalah 145) Jika ada unsur riya di beberapa bagian shalat, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus mengulang shalatnya.
Masalah 146) Jika seseorang tidak melakukan bagian mustahab dari shalat guna memerangi unsur riya, maka perbuatannya itu tidak termasuk riya dan shalatnya sah.
Masalah 147) Tidak diperbolehkan berpindah (‘udul)* dari satu shalat ke shalat lainnya; kecuali dalam hal-hal khusus, dimana sebagian ada yang wajib dan ada pula yang boleh.**
* Artinya mengubah niat dari satu shalat ke shalat lainnya saat sedang shalat.
** Kasus-kasus kebolehan berpindah (‘udul) disebutkan dalam buku-buku yang lebih terperinci.
Masalah 148) Adapun hal-hal yang diwajibkan untuk berpindah dari satu shalat ke shalat lainnya adalah:
1. Dari shalat Ashar ke shalat Dzuhur sebelum berada pada waktu khusus shalat Ashar, ketika di pertengahan shalat ia mengetahui dan menyadari belum melakukan shalat Dzuhur.
2. Dari shalat Isya ke shalat Maghrib; sebelum waktu khusus shalat Isya; ketika di pertengahan shalat Isya ia mengetahui dan menyadari belum menunaikan shalat Maghrib dan juga belum melampaui batas tempat ‘udul; yaitu sebelum ruku’ rakaat keempat.
3. Dari satu shalat qadha ke shalat qadha lainnya dimana pada pelaksanaan ada-nya terdapat kewajiban untuk tartib seperti shalat qadha Dzuhur dan Ashar satu hari, dan karena lupa, ia menunaikan qadha shalat kedua sebelum shalat pertama.
- 2. Berdiri
2. Berdiri
Masalah 149) Berdiri saat melakukan takbiratul ihram dan juga sebelum ruku’ adalah rukun; Artinya, jika ditinggalkan atau tidak dilakukan baik tanpa sengaja dan karena lupa, maka shalatnya tidak sah.
Masalah 150) Berdiri saat membaca dan mengucapkan empat tasbih, serta berdiri setelah ruku’, adalah kewajiban yang bukan rukun; artinya, jika meninggalkannya dengan sengaja, shalatnya tidak sah, tetapi jika tidak sengaja, maka tidak membatalkan shalat.
Masalah 151) Orang yang mampu melakukan shalatnya dengan berdiri dan tidak ada uzur, maka ia harus dalam keadaan berdiri dari awal shalat sampai hendak ruku’. Demikian juga wajib untuk berdiri setelah ruku’ dan sebelum ke arah sujud.
Masalah 152) Jika seseorang lupa ruku’ dan langsung duduk setelah membaca al-Fatihah dan surah, kemudian teringat bahwa ia belum ruku’, maka ia harus bangkit berdiri dan melakukan ruku’ dari posisi berdiri; dan jika ia ruku’ tanpa bangkit dan berdiri terlebih dahulu melainkan melakukan ruku’ dari duduk dalam keadaan tubuh masih membungkuk, maka shalatnya batal.
Masalah 153) Mushalli tidak boleh menggerak-gerakkan badannya pada saat berdiri dan tidak boleh condong ke satu sisi secara terang-terangan atau bersandar pada sesuatu, kecuali karena terpaksa, tidak sengaja atau lupa.
Masalah 154) Saat membaca al-Fatihah dan surah atau tasbih pada rakaat ketiga dan keempat, badan mushalli harus dalam keadaan tenang, oleh karena itu jika ia ingin bergerak maju atau mundur sedikit atau sedikit bergerak ke kanan atau ke kiri, maka ia harus menghentikan bacaan zikir yang sedang dibacanya.
Masalah 155) Saat berdiri, mustahab bagi mushalli untuk menegakkan badan, menurunkan bahu, meletakkan kedua tangan di atas paha, menyatukan jari-jemari, menatap tempat sujud, dan meletakkan beban tubuh secara seimbang pada kedua kaki, dengan tunduk dan khusyuk dan tidak meletakkan kakinya di depan atau belakang.
Masalah 156) Orang yang tidak mampu berdiri ketika shalat, hendaknya ia melakukan shalat dengan duduk, tetapi jika ia mampu bersandar pada sesuatu dan berdiri, maka kewajibannya adalah shalat dengan berdiri.
Masalah 157) Orang yang melakukan shalatnya dengan duduk, selama tidak menyulitkannya, sebisa mungkin untuk melakukan shalatnya dengan berdiri. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kemampuan berdiri di sebagian rakaat dan bagian-bagian shalat lainnya, tetapi tidak dapat berdiri di keseluruhan shalat, wajib baginya untuk melakukan shalatnya dengan berdiri sebanyak yang ia mampu, ketika ia tidak mampu berdiri, ia bisa shalat dengan duduk dan ketika ia mampu untuk berdiri lagi, maka ia harus melanjutkan shalatnya dengan berdiri.
Masalah 158) Seseorang yang tidak memiliki kekuatan untuk berdiri, jika mampu berdiri seukuran mengucapkan takbiratul ihram, maka ia harus mengucapkan takbiratul ihram dengan berdiri dan melanjutkan sisa shalatnya dengan duduk. Demikian juga, jika ia mampu berdiri setelah membaca al-Fatihah dan surah, maka ia harus melakukan ruku’ dari posisi berdiri.
Masalah 159) Seseorang yang diperbolehkan melakukan shalatnya dengan berdiri, jika ia takut dan khawatir akan menjadi sakit atau ada bahaya lain menimpa dirinya, maka ia boleh melakukan shalatnya dengan duduk, dan jika dengan shalat duduk ia juga memiliki rasa takut dan kekhawatiran yang sama, maka ia boleh shalat dengan berbaring.
Masalah 160) Seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan shalat dengan duduk, maka ia harus melakukan shalatnya dengan berbaring, dan berdasarkan ihtiyat wajib, jika bisa, ia harus tidur miring ke kanan dengan wajah dan tubuh menghadap kiblat, jika hal ini tidak bisa ia lakukan, ia bisa tidur miring ke kiri menghadap kiblat, dan jika yang inipun tidak mampu, maka ia bisa tidur telentang sehingga telapak kakinya menghadap kiblat.
Masalah 161) Seseorang yang melakukan shalatnya dengan berbaring, jika ia bisa duduk atau berdiri di antara shalat tanpa rasa kesulitan atau bahaya, maka ia harus menunaikan shalat sebisa dan semampu mungkin dengan duduk atau berdiri.
Masalah 162) Seseorang yang tidak bisa berdiri karena uzur, tetapi bisa jadi ia bisa shalat dengan berdiri di akhir waktu, maka berdasarkan ihtiyath wajib, ia harus menunggu sampai waktu itu, tetapi jika ia menunaikan shalat di awal waktu dengan duduk karena uzur dan uzurnya belum terselesaikan hingga akhir waktu, maka shalat yang telah dilakukannya dianggap sah dan tidak perlu diulang.
Masalah 163) Jika seseorang tidak memiliki kekuatan untuk melakukan shalat berdiri di awal waktu dan yakin tidak akan bisa shalat dengan berdiri sampai akhir waktu, maka ia bisa melakukan shalat dengan duduk di awal waktu, tetapi jika ia mampu shalat dengan berdiri sebelum waktu berakhir, maka ia harus mengulangi shalatnya sambil berdiri.
- 3. Takbiratul Ihram
3. Takbiratul Ihram
Masalah 164) Membaca takbiratul ihram dalam shalat adalah wajib, dimana maksudnya adalah mengucapkan “Allahu Akbar” di awal shalat.
Masalah 165) Tidak mengucapkan takbiratul ihram di awal shalat; baik sengaja maupun tidak sengaja, menyebabkan shalat menjadi batal. Demikian juga, jika setelah melakukannya dengan benar di awal shalat, lalu ia kembali mengucapkan “Allahu Akbar” lagi dengan jeda (tidak sampai merusak nuwalat) atau tanpa jeda dan dengan niat yang sama, maka shalatnya batal dan tidak ada bedanya apakah pengulangan itu disengaja atau tidak disengaja.
Masalah 166) Takbiratul ihram harus diucapkan sedemikian hingga dianggap mengucapkannya dan tandanya adalah orang tersebut tidak tuli atau tidak ada kebisingan lingkungan, ia bisa mendengarnya.
Masalah 167) Takbiratul ihram harus diucapkan dalam bahasa Arab yang benar, dan jika diucapkan dengan terjemahan Persianya atau dengan bahasa Arab yang salah (misalnya, huruf ha pada kata Allah diucapkan dengan harakat fathah), maka hal tersebut tidak benar.
Masalah 168) Saat mengucapkan takbiratul ihram, badan harus dalam keadaan tenang dan tidak bergerak, oleh karena itu jika seseorang sengaja mengucapkan takbiratul ihram saat badan bergerak, maka shalatnya batal.
Masalah 169) Seseorang yang tidak mengetahui kualitas pengucapan takbiratul ihram yang benar maka ia harus mempelajarinya.
Masalah 170) Jika seseorang ragu apakah telah mengucapkan takbiratul ihram ataukah belum, jika ia belum memasuki dzikir dan qiraah, maka ia harus mengucapkan takbiratul ihram, tetapi jika ia mengalami keraguaan saat membaca al-Fatihah atau bahkan saat mengucapkan, «اعوذ بالله من الشیطان الرجیم», ia tidak boleh memperhatikan keraguannya dan harus melanjutkan shalat.
Masalah 171) Jika setelah mengucapkan takbiratul ihram seseorang ragu apakah telah mengucapkannya dengan benar ataukah belum, maka ia tidak perlu memperhatikan keraguannya.
- 4. Bacaan
4. Bacaan
Masalah 172) Pada rakaat pertama dan kedua dari shalat wajib yaumiyah, pertama harus membaca surah al-Fatihah, kemudian berdasarkan ihtiyath wajib membaca satu surah lengkap.
Masalah 173) Bacaan dalam shalat merupakan kewajiban yang non rukun; artinya meninggalkannya dengan sengaja akan membatalkan shalat, tetapi meninggalkannya karena kelalaian atau tidak sengaja tidak akan membatalkan shalat.
Masalah 174) Jika waktu shalat telah sempit, maka tidak ada kebolehan untuk membaca surah.
Masalah 175) Jika seseorang membaca surah sebelum al-Fatihah karena kesalahan dan menyadarinya sebelum menuju ruku’, maka ia harus membaca surah lagi setelah membaca al-Fatihah, dan jika ia menyadari pada saat sedang membaca surah, maka ia harus meninggalkan bacaan surahnya dan membaca surah dari awal lagi setelah al-Fatihah.
Masalah 176) Jika seseorang lupa membaca al-Fatihah dan surah atau salah satunya dan menyadarinya setelah sampai ke ruku’, maka shalatnya sah.
Masalah 177) Jika sebelum ruku’ seseorang menyadari belum membaca al-Fatihah dan surah atau hanya belum membaca surah saja, maka ia harus membacanya lalu melakukan ruku’, dan jika menyadari bahwa yang tidak ia baca adalah al-Fatihah, maka ia harus membaca al-Fatihah setelah itu membaca surah lagi, dan juga jika menyadari belum membaca al-Fatihah atau surah atau keduanya saat sudah membungkuk dan sebelum sampai ke ruku’, maka ia harus berdiri dan mengikuti perintah yang sama.
Masalah 178) Dalam shalat wajib, tidak diperbolehkan membaca surah yang memiliki ayat sujud wajib, dan jika seseorang sengaja atau tidak sengaja membaca salah satu surah dan sampai pada ayat sujud, maka berdasarkan ihtiyat wajib, ia harus melakukan sujud tilawah kemudian bangkit dan menyelesaikan bacaan surah jika surah belum selesai, dan menyelesaikan shalat, setelah itu mengulangi shalatnya; dan jika ia menyadarinya sebelum sampai ke ayat sujud, maka ihtiyath wajib untuk meninggalkannya dan mengganti dengan membaca surah lain, dan setelah shalat, mengulanginya kembali shalatnya.
Masalah 179) Jika seseorang mendengarkan ayat sajdah saat sedang shalat, maka shalatnya benar dan setelah mendengar ayat sajdah, alih-alih sujud, melainkan ia harus melakukan sujud dengan isyarat kemudian melanjutkan shalat.
Masalah 180) Jika setelah al-Fatihah seseorang telah mulai membaca, «قل هو الله احد» atau «قل یا ایها الکافرون», maka ia tidak dapat meninggalkan dan menggantikannya dengan surah lain, tetapi dalam shalat Jumat, jika ia membaca salah satu surah di atas sebagai pengganti surah Jumu'ah dan al-Munafiqin, karena lupa, maka ia bisa meninggalkannya dan mengganti dengan bacaan surah Jumu’ah dan al-Munafiqin.
Masalah 181) Jika seseorang membaca surah lain selain surah «قل هو الله احد» atau «قل یا ایها الکافرون» dalam shalatnya, maka selama ia belum membaca lebih dari setengahnya, maka ia bisa meninggalkannya dan membaca surah lain.
Masalah 182) Jika seseorang lupa bagian dari surah yang sedang dibacanya atau tidak bisa menyelesaikannya karena keterbatasan waktu atau alasan lain, maka ia harus meninggalkan surah tersebut dan membaca surah lain, dan tidak ada perbedaan apakah sudah lewat setengah atau belum, atau surah yang dibacanya adalah surah «قل هو الله احد» atau «قل یا ایها الکافرون» ataukah selain keduanya.
Masalah 183) Dalam shalat-shalat sunnah tidak ada kewajiban membaca surah, meskipun shalat tersebut telah menjadi wajib karena nadzar, tetapi pada beberapa shalat sunnah yang di dalamnya terdapat bacaan surah khusus, seperti shalat untuk orang tua, jika seseorang ingin mengikuti aturan shalat tersebut, maka ia harus membaca surah yang dimaksud.
Masalah 184) Pada rakaat ketiga dan keempat shalat, cukup mengucapkan satu kali kalimat «سبحان الله و الحمدلله و لااله الاالله و الله اکبر» “Subhanallah walhamdulillah wa la ilaha illallah wallahu akbar”, meskipun ihtiyath mustahab untuk mengucapkannya tiga kali. Tentu saja, dzikir (yang disebut tasbihatul arba’ah) ini bisa diganti dengan membaca surah al-Fatihah.
Masalah 185) Seseorang yang mengetahui bahwa ia telah membaca tasbihatul arba’ah tetapi tidak mengetahui berapa jumlahnya, maka tidak ada kewajiban apapun baginya, tetapi sebelum sampai ke ruku’, ia bisa memilih yang minimal lalu mengulanginya hingga yakin bahwa ia telah membacanya tiga kali.
Masalah 186) Seseorang yang biasa membaca tasbihatul arba’ah pada rakaat ketiga dan keempat, jika ia memutuskan untuk membaca surah al-Fatihah tetapi karena lalai dari keputusan ini, akhirnya ia tetap membaca tasbihatul arba’ah sesuai dengan kebiasaannya, maka shalatnya tetap benar, begitu pula jika ia memiliki kebiasaan membaca al-Fatihah dan memutuskan untuk membaca tasbihatul arba’ah, tetapi karena kelalaian akhirnya membaca al-Fatihah.
Masalah 187) Jika seseorang membaca al-Fatihah dan surah pada rakaat ketiga atau keempat karena lalai atau mengira berada pada rakaat pertama atau kedua, lalu ia menyadarinya saat ruku’ atau setelah ruku’, maka shalatnya sah.
Masalah 188) Jika saat dalam keadaan berdiri seseorang ragu apakah ia telah membaca al-Fatihah atau tasbihatul arba’ah ataukah belum, maka hendaknya ia membaca al-Fatihah atau tasbihatul arba’ah, tetapi jika saat membaca istighfar yang mustahab sebelum ruku’ ia ragu telah mambaca tasbihatul arba’ah ataukah belum, maka ia tidak perlu membacanya.
Masalah 189) Jika pada rakaat ketiga dan keempat seseorang merasa ragu telah membaca al-Fatihah atau tasbihatul arba’ah ataukah belum, maka ia harus mengabaikan keraguannya, namun jika keraguannya ini terjadi pada saat menuju ke arah ruku’ dan belum sampai ke ruku’, maka ihtiyath wajib ia harus berdiri kembali dan membaca al-Fatihah atau tasbihatul arba’ah.
Masalah 190) Laki-laki wajib membaca al-Fatihah dan surah di dua rakaat pertama shalat Subuh, Maghrib dan Isya dengan jahar (suara yang keras), sementara itu pada shalat Dhuhur dan Ashar, baik laki-laki maupun perempuan wajib membaca al-Fatihah dan surah dengan suara perlahan.
Masalah 191) Seorang perempuan bisa membaca al-Fatihah dan surah dengan keras atau perlahan pada shalat Subuh, Maghrib dan Isya, tetapi jika ada non-mahram yang mendengar suaranya, lebih baik untuk membacanya dengan perlahan.
Masalah 192) Pada rakaat ketiga dan keempat, seseorang harus membaca tasbihatul arba’ah atau al-Fatihah secara perlahan, dan jika ia memilih bacaan al-Fatihah, maka berdasarkan ihtiyat, ia juga harus mengucapkan “bismillah” secara perlahan.
Masalah 193) Kewajiban membaca secara perlahan atau keras pada rakaat pertama dan kedua shalat adalah khusus untuk bacaan al-Fatihah dan surah, dan kewajiban membaca perlahan pada rakaat ketiga dan keempat, khusus untuk bacaan al-Fatihah atau tasbihatul arba’ah, namun pada dzikir ruku’, sujud, tasyahhud, salam dan dzikir-dzikir shalat harian lainnya, mukallaf bebas mau melafalkannya secara perlahan atau keras.
Masalah 194) Mengenai kewajiban untuk jahar (membaca keras) dan ikhfat (membaca perlahan) dalam shalat wajib yaumiyah, tidak ada perbedaan antara shalat ada’ maupun qadha, meskipun dalam shalat qadha bersifat ihtiyat.
Masalah 195) Tolok ukur jahar (membaca keras) adalah memperlihatkan esensi suara, dan sebaliknya ikhfat (membaca perlahan) adalah tidak mengucapkannya secara terang-terangan, meskipun orang yang berada di sebelah mushalli tetap masih bisa mendengar suaranya.
Masalah 196) Jika seseorang meninggikan suaranya lebih dari sewajarnya saat membaca al-Fatihah dan surah, seperti membacanya dengan berteriak, maka shalatnya batal.
Masalah 197) Jika pada shalat yang seharusnya dengan bacaan keras (jahar) secara sengaja dilakukan dengan suara pelan (ikhfat), atau shalat yang seharusnya dengan bacaan pelan sengaja dengan suara keras, maka shalatnya batal. Namun jika karena lupa atau tidak mengetahui persoalan, maka shalatnya sah; dan ketika ia menyadarinya saat sedang membaca al-Fatihah dan surah atau tasbihatul arba’ah maka tidak perlu membaca ulang bagian yang telah salah baca, baik pada bacaan yang keras ataupun pelan.
Masalah 198) Dalam bacaan, wajib mengucapkan kata-kata sedemikian hingga dianggap membaca, karenanya membaca dalam hati; yaitu melintasnya kata-kata di dalam hati tanpa mengucapkannya tidaklah cukup. Tanda benarnya bacaan adalah ketika telinga mushalli tidak berat atau tidak ada kebisingan lingkungan, ia dapat mendengar apa yang dibaca dan diucapkannya.
Masalah 199) Orang yang bisu dan tidak bisa berbicara, jika ia melaksanakan shalatnya dengan isyarat, maka shalatnya benar dan sah.
Masalah 200) Seseorang harus menunaikan shalat dengan benar dan tanpa kesalahan, dan seseorang yang tidak dapat mempelajarinya dengan benar, maka ia harus menunaikan shalat dengan cara apa pun yang ia bisa, dan ihtiyath mustahab untuk menunaikan shalat secara berjamaah.
Masalah 201) Seseorang yang tidak mengetahui dengan baik bacaan al-Fatihah dan surah atau hal-hal lain dari shalat dan ia bisa belajar, maka jika ada banyak waktu untuk shalat, ia harus belajar, dan jika waktunya terbatas, maka berdasar ihtiyat wajib, jika memungkinkan ia harus menunaikan shalat dengan berjamaah.
Masalah 202) Kriteria kebenaran bacaan adalah menjaga harakat, tempat berhentinya huruf dan pengucapannya dari tempat keluarnya huruf, sedemikian hingga penutur bahasa Arab menganggapnya sebagai pengucapan huruf yang dimaksud (bukan huruf lain) dan tidak ada keharusan untuk memperhatikan sifat-sifat tajwidnya.
Masalah 203) Jika tidak mengetahui salah satu kata dari al-Fatihah dan surah, atau dengan sengaja tidak mengucapkannya, atau dengan sengaja mengucapkan huruf lain, misalnya mengucapkan «ز» bukan «ض», atau mengubah aksen dari kata-kata, atau tidak mengucapkan tasydid, maka shalatnya tidak sah.
Masalah 204) Orang yang salah mengucapkan bacaan atau dzikir shalat; misalnya, membaca kata «یُولَد» (yulad) dengan bacaan «یُولِد» (yulid), jika ia jahil muqassir,* maka berdasarkan ihtiyat wajib shalatnya batal dan jika ia jahil qasir** atau ia yakin bahwa dibaca seperti tersebut adalah benar, maka shalatnya sah.
* Orang yang sadar akan kebodohannya dan mengetahui cara menghilangkan kebodohannya, namun lalai mempelajari hukum-hukumnya.
** Orang yang sama sekali tidak menyadari ketidaktahuannya, atau jika ia sadar, ia tidak memiliki cara untuk menghilangkan ketidaktahuan dan kebodohannya.
Masalah 205) Jika ingin menghubungkan satu ayat dengan ayat lainnya saat membaca surah dalam shalat, maka tidak perlu menunjukkan harakat terakhir dari ayat pertama; misalnya, tidak masalah jika mengatakan, «مالِکِ یَوْمِ الدِّین» (maliki yaumiddin) dan huruf nun terakhir dari ayat tersebut di-sukun-kan dan langsung mengatakan, «اِیّاکَ نَعْبُدُ وَ اِیّاکَ نَسْتَعینُ» (iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in). Hal ini disebut “menghubungkan ke sukun”. Demikian juga dalam kasus terakhir dari kata-kata yang ayat itu terbentuk, meskipun dalam kasus terakhir ihtiyath mustahab agar tidak menghubungkannya dengan sukun.
Masalah 206) Tidak masalah berhenti dan memberi jarak di antara frase-frase suatu ayat, jika hal tersebut tidak merusak kesatuan kalimat; misalnya «وَلاَ الضّالِّیْنَ» (waladh-dhaalliin) dibaca dengan sedikit jarak dari «غَیْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَیْهِمْ» (ghairil-maghdhubi ‘alaihim).
Masalah 207) Jika setelah memasuki suatu ayat seseorang merasa ragu akan kesahihan ayat sebelumnya, maka ia tidak perlu memperhatikan keraguannya. Demikian juga, jika seseorang merasa ragu akan kebenaran dan kesahihan kalimat sebelumnya, setelah memasuki kalimat berikutnya, seperti ketika mengucapkan, «اِیّاکَ نَسْتَعِینُ» (iyyaka nasta'in) merasa ragu apakah telah mengucapkan, «إِیَّاکَ نَعْبُدُ» (iyyaka na'budu) dengan benar atau tidak, maka dalam kasus ini ia tidak perlu memperhatikan keraguannya. Tentu saja jika ia ragu dalam kebenaran pengucapannya, maka tidak ada masalah jika ia mengulanginya kembali secara ihtiyat.
Masalah 208) Ketika membaca al-Fatihah dan surah atau tasbihatul arba’ah, tubuh harus dalam keadaan tenang dan tanpa gerakan, dan jika ingin bergerak sedikit ke depan atau ke belakang atau menggerakkan tubuh sedikit ke kanan atau ke kiri, maka saat bergerak ia harus menghentikan dzikir yang sedang dibacanya.
Masalah 209) Disunnahkan untuk membaca, «اَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّیْطانِ الرَّجیْم» (a’udzu billahi minasya-syaithanir-rajim) sebelum membaca al-Fatihah pada rakaat pertama, dan pada rakaat pertama dan kedua dari shalat Dzuhur dan Ashar mengucapkan kalimat «بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحیم» (bismillahirrahmanirrahim) dengan jahar kemudian membaca al-Fatihah dan surah secara berjeda dan berhenti pada akhir setiap ayat, yaitu tidak menyambungkan dengan ayat berikutnya. Ketika membaca al-Fatihah dan surah, harus memperhatikan arti dan makna dari ayat-ayat tersebut, dan setelah membaca al-Fatihah mengucapkan, «اَلحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العالَمیْنَ» (alhamdu lillahi Rabbil-‘alamin), baik pada shalat berjamaah atau sendirian, baik sebagai imam atau ma’mum, dan setelah membaca surah «قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ» mengucapkan satu, dua atau tiga kali «کَذلِکَ اللهُ رَبِّی» (Kadzalikallahu rabbi; demikianlah Allah Tuhanku) dan setelah membaca al-Fatihah dan juga setelah surah, berhenti sejenak, kemudian baru melanjutkan shalat.
Masalah 210) Disunnahkan untuk memohon ampun dan beristighfar pada rakaat ketiga dan keempat setelah membaca tasbihatul arba’ah, misalnya mengatakan, «اَسْتَغْفِرُ اللهَ رَبِّی وَ اَتُوْبُ اِلَیْهِ»; (astagfirullah Rabi wa attubu ilaih; aku memohon ampunan Allah, Tuhanku, dan aku bertobat kepadaNya) atau mengucapkan, «اَللّهُمَّ اغْفِرْلِی». (allahumaghfirli, Ya Allah! Ampunilah aku).
Masalah 211) Tidak membaca surah «قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ» di salah satu shalat lima waktu adalah makruh, demikian juga makruh hukumnya mengulang sebuah surah dalam dua rakaat dalam satu shalat, kecuali surah «قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ».
Masalah 212) Dalam semua shalat, disunnahkan untuk membaca surah «انا انزلناه»; inna anzalnahu di rakaat pertama; dan di rakaat kedua membaca surah «قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ».
- 5. Ruku’
5. Ruku’
Masalah 213) Pada setiap rakaat setelah selesai bacaan, mushalli harus ruku’; artinya membungkuk sedemikian hingga dapat meletakkan tangan di atas lutut dan jika hanya ujung jari yang mencapai lutut, itu juga sudah dianggap mencukupi.
Masalah 214) Ihtiyat wajib untuk meletakkan tangan di atas lutut saat sedang ruku’.
Masalah 215) Ruku’ merupakan salah satu kewajiban rukun dimana melebihi atau mengurangi, baik sengaja atau tidak sengaja akan membatalkan shalat. Oleh karena itu, jika setelah sampai pada batas ruku’ dan badan sudah tenang, lalu mengangkat kepala dan membungkuk kembali dengan niat ruku’, atau lupa ruku’ dan menyadarinya pada sujud kedua atau sesudahnya, maka shalatnya batal.
Masalah 216) Melebihkan ruku’ karena mengikuti imam (dengan syarat-syarat yang akan dikemukakan dalam pembahasan shalat berjamaah) tidak akan membatalkan shalat. Demikian juga, jika menambahkan ruku’ secara tidak sengaja dalam shalat sunnah, shalatnya tetap sah.
Masalah 217) Membungkuk harus dilakukan dengan niat ruku’, oleh karena itu jika dengan maksud melakukan sesuatu yang lain; seperti membungkuk untuk mengambil sesuatu, maka itu tidak dapat dihitung sebagai ruku’, melainkan ia harus berdiri dan membungkuk lagi untuk ruku’, dan tindakan ini tidak menyebabkan rukun menjadi bertambah, oleh karena itu shalat tidak batal.
Masalah 218) Seseorang yang tidak bisa membungkuk untuk ruku’, jika ia bisa membungkuk dengan bersandar pada sesuatu, maka ia harus ruku’ dengan cara ini, dan jika ia tidak bisa ruku’ meskipun dengan bersandar pada sesuatu, maka ia harus ruku’ sesuai kemampuan yang ia bisa, dan dalam hal ini tidak boleh ruku’ dalam keadaan duduk; kendati dalam keadaan duduk ia bisa membungkuk seperti ruku’. Tetapi jika ia tidak mampu ruku’ dari posisi berdiri, maka ia harus melakukan ruku’ dalam keadaan duduk, dan ihtiyat-nya adalah melakukan shalat lagi dan melakukan ruku’ sambil berdiri dengan menggunakan isyarat, dan jika tidak dapat melakukan ruku’ bahkan dalam kondisi duduk, maka ia harus ruku’ dalam keadaan berdiri dan dengan isyarat kepala, dan jika tidak bisa dengan isyarat kepala, maka untuk ruku’ harus menutup matanya dan membukanya untuk bangkit dari ruku’.
Masalah 219) Seseorang yang ruku’ dalam keadaan duduk, ia cukup membungkuk sedemikian hingga wajahnya berada di hadapan lutut dan tidak perlu meletakkan tangannya di atas lutut.
Masalah 220) Menambah atau mengurangi ruku’ yang dilakukan sambil duduk atau dengan isyaratm baik secara sengaja atau tidak sengaja, akan membatalkan shalat.
Masalah 221) Dalam ruku’ harus mengucapkan dzikir. Dzikir wajib ruku’ adalah satu kali membaca «سُبْحانَ رَبِّیَ الْعَظیْمِ وَ بِحَمْدِهِ» (subhana Rabbiyal ‘azhimi wa bihamdihi, Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung dan pujian semata untukNya) atau membaca tiga kali, «سُبْحانَ اللهِ» (subhanallah, Maha Suci Allah) dan jika menggantikannya dengan membaca dzikir lain seperti «اَلْحَمْدُ لِلهِ» alhamdulillah dan «اَللّهُ اَکبَرُ» Allahu Akbar dan sejenisnya (selain dzikir khusus sujud) maka sudah dianggap mencukupi.
Masalah 222) Ketika berada dalam kondisi keterbatasan waktu atau situasi yang darurat, maka cukup mengucapkan «سُبْحانَ اللهِ» (subhanallah) satu kali.
Masalah 223) Ketika mengucapkan dzikir wajib dalam ruku’, tubuh harus dalam keadaan tenang, bahkan ketika membaca beberapa dzikir dengan niat sunnah dalam ruku’, seperti mengulang kalimat «سُبْحانَ رَبِّیَ الْعَظیْمِ وَ بِحَمْدِهِ» (subhana Rabbiyal ‘azhimi wa bihamdihi) dan sejenisnya, berdasarkan ihtiyat wajib harus menjaga tubuh tetap dalam kondisi tenang.
Masalah 224) Jika ingin bergerak sedikit ke depan atau ke belakang atau menggerakkan badannya sedikit ke kanan atau ke kiri, maka saat bergerak harus menghentikan dzikir yang sedang dibacanya. Namun tidak masalah jika dzikir yang dibaca pada saat bergerak adalah dzikir dengan niat mutlak, bukan dzikir shalat.
Masalah 225) Tidak ada masalah melakukan sedikit gerakan tubuh atau jari dan sejenisnya saat membaca dzikir ruku’.
Masalah 226) Jika tubuh bergerak secara tidak sengaja saat membaca dzikir wajib ruku’ sedemikian hingga ketenangan (tuma’ninah) yang diwajibkan menjadi hilang, maka dzikir wajib harus diulang kembali setelah tubuh tenang.
Masalah 227) Seseorang yang mengetahui bahwa ketenangan (tuma’ninah) saat membaca dzikir ruku’adalah wajib, jika ia sengaja mulai membaca dzikir ruku’ sebelum sampai pada batas ruku’ dan sebelum badan dalam keadaan tenang, maka shalatnya batal.
Masalah 228) Jika seseorang tidak sengaja membaca dzikir sebelum sampai pada batas ruku’ dan sebelum tubuhnya tenang, maka ia harus mengulanginya lagi setelah sampai pada batas ruku’.
Masalah 229) Seseorang yang mengetahui bahwa ketenangan (tuma’ninah) pada saat membaca dzikir ruku’ itu wajib, jika ia sengaja bangun dari ruku’ sebelum dzikir wajib berakhir, maka shalatnya batal. Dan jika ia sadar belum menyelesaikan bacaan dzikir ruku’ sebelum keluar dari batas ruku’, maka ia harus membaca dzikir dalam keadaan tenang; dan jika ia sadar ketika sudah keluar dari kondisi ruku’, maka shalatnya tetap sah.
Masalah 230) Seseorang yang karena sakit dan sejenisnya, tidak bisa melakukan ruku’ seukuran mengucapkan tiga kali «سُبْحانَ اللهِ» (subhanallah), maka cukup mengucapkan satu kali «سُبْحانَ اللهِ»; dan jika hanya bisa melakukan ruku’ sesaat saja, maka ihtiyat wajib untuk membaca dzikir pada saat itu juga dan mengakhirinya saat mengangkat kepalanya (dari ruku’).
Masalah 231) Setelah selesai membaca dzikir ruku’, mushlalli harus berdiri dan setelah badannya tenang baru melakukan sujud, dan jika sengaja melakukan sujud sebelum berdiri atau sebelum badannya tenang, maka shalatnya batal.
Masalah 232) Jika seseorang lupa melakukan ruku’ dan mengingatnya sebelum sampai pada sujud, maka ia harus berdiri kemudian bergerak dari posisi berdiri ke ruku’ dan jika ia kembali ke ruku’ saat badan masih dalam keadaan membungkuk, maka itu belum cukup dan jika ia mencukupkan diri dengan ruku’ ini, maka shalatnya batal.
Masalah 233) Jika pada saat sujud pertama atau setelah itu dan sebelum memasuki sujud kedua, seseorang ingat bahwa ia belum melakukan ruku’, maka ia harus bangkit, dan setelah berdiri, hendaklah ia melakukan ruku’ kemudian dua sujud dan menyempurnakan shalat; dan setelah shalat ihtiyat mustahab untuk melakukan dua sujud sahwi untuk sujud lebih yang dilakukannya.
Masalah 234) Sunnah untuk bertakbir saat sedang berdiri sebelum ruku’, dan jika mushalli adalah laki-laki, hendaknya pada saat ruku’ ia menekan lutut ke belakang, tidak menundukkan kepala, menjaga kesejajaran punggung, menyandarkan telapak tangan pada lutut, memandang di antara dua kakinya dan mengirimkan salawat sebelum atau sesudah membaca dzikir ruku’, mengulangi bacaan dzikir ruku’ dengan angka ganjil, kemudian setelah bangun dari ruku’ dan berdiri dalam keadaan badannya tenang, membaca, «سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ» (sami’allahu liman hamidah, semoga Allah mendengar bagi orang yang memujiNya).
Masalah 235) Disunnahkan bagi perempuan untuk meletakkan tangan lebih tinggi dari lutut saat ruku’ dan tidak menekan lutut ke belakang.
- 6. Sujud
- 7. Tasyahud
7. Tasyahud
Masalah 288) Pada rakaat kedua dan rekaat terakhir dari semua shalat, mushalli harus duduk setelah sujud kedua dan setelah badannya dalam kondisi tenang, mengucapkan kalimat-kalimat yang merupakan dzikir tasyahhud. Tindakan dan perbuatan ini disebut “tasyahhud.”
Masalah 289) Dzikir wajib pada waktu tasyahhud adalah dengan membaca
«اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَریْکَ لَهُ و اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَ رَسُولُهُ، اللّهُمَّ صَلِّ عَلی مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ»
Asyhadu an lailaha illallah wahdahu lasyarikalahu wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluhu, allahumma shalli ala Muhammadin wa ali Muhammad (Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, Maha Esa dan tidak ada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasulNya, Ya Allah kirimkan shalawat atas Muhammad dan ahlulbait Muhammad).
Masalah 290) Sebelum membaca dzikir wajib tasyahhud sunnah untuk membaca, «اَلْحَمْدُ لِلهِ», atau mengatakan, «بِسْمِ اللهِ وَ بِاللهِ وَ الْحَمْدُ لِلهِ وَ خَیْرُ الْاَسْماءِ لِلهِ» bismillahi wa billahi wal gamdulillah wa khairul asmai lillah (Dengan nama Allah dan demi Allah dan segala puji hanya bagi Allah dan sebaik-baik nama untuk Allah) dan juga setelah shalawat sunnah membaca, «وَ تَقَبَّلْ شَفاعَتَهُ وَ ارْفَعْ دَرَجَتَهُ»; wa taqabbal syafaatahu warfa’ darajatahu (dan terimalah syafaatnya dan angkatlah derajatnya).
Masalah 291) Tasyahhud adalah kewajiban yang bukan rukun. Oleh karena itu, jika dilebihkan atau ditinggalkan dengan sengaja maka shalatnya batal, tetapi melebihkan atau meninggalkannya dengan tidak sengaja tidak membatalkan shalat.
Masalah 292) Jika seseorang lupa membaca tasyahhud dan langsung berdiri untuk rakaat ketiga, tetapi ia sadar dan teringat sebelum ruku’, maka ia harus duduk dan membaca tasyahhud, lalu berdiri lagi dan membaca tasbihatul arba’ah rakaat ketiga dan melanjutkan shalatnya, kemudian setelah shalat, untuk tindakan berdiri yang bukan pada tempatnya, ihtiyat mustahab baginya untuk melakukan dua sujud sahwi.
Masalah 293) Jika lupa membaca tasyahhud dan baru teringat pada ruku’ rakaat ketiga atau setelah itu, maka shalatnya harus diselesaikan terlebih dahulu dan setelah mengucapkan salam, melakukan dua sujud sahwi karena lupa, membaca tashahhud dan berdasarkan ihtiyat wajib harus mengganti bacaan tasyahhud dengan membacanya kembali sebelum melakukan sujud sahwi.
- 8. Mengucapkan Salam
8. Mengucapkan Salam
Masalah 294) Salam adalah bagian terakhir dari shalat, yang dengan mengucapkannya berarti shalat telah berakhir. Salam yang wajib untuk shalat adalah dengan mengatakan, «اَلسَّلاَمُ عَلَیْکُم»; assalamu ‘alaikum (Semoga keselamatan menyertaimu) dan lebih baik menambahkan dengan kalimat, «وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَکاتُهُ»; warahmatullahi wabarakatuhu (rahmat Allah dan berkahNya) atau mengatakan, «اَلسَّلاَمُ عَلَیْنَا وَ عَلی عِبادِ اللهِ الصّالِحینَ»; assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahishshalihin (salam atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang salih).
Masalah 295) Sebelum mengucapkan dua salam di atas, disunnahkan untuk mengucapkan kalimat «اَلسَّلامُ عَلَیْکَ اَیُّهَا النَّبِیُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَکاتُهُ» assalamu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu warahmatullahi wabarakatuhu (salam atasmu duhai Nabi, rahmat Allah dan berkahNya).
Masalah 296) Salam adalah salah satu kewajiban yang bukan rukun, oleh karena itu, jika dilebihkan atau ditinggalkan secara tidak sengaja, shalatnya tidak batal.
Masalah 297) Jika lupa mengucapkan salam shalat dan teringat ketika kondisi shalatnya belum berubah dan ia juga belum melakukan sesuatu yang membatalkan shalat baik secara sengaja atau tidak sengaja, seperti membelakangi kiblat, maka ia harus mengucapkan salam dan shalatnya sah.
- 9. Tertib
9. Tertib
Masalah 298) Mushalli harus melaksanakan shalat sesuai dengan urutan yang telah disebutkan dan melaksanakan setiap bagiannya pada tempatnya, oleh karena itu jika dengan sengaja tidak mengikuti perintah tersebut, seperti membaca surah sebelum al-Fatihah atau melakukan sujud sebelum ruku’ , maka shalatnya menjadi batal.
Masalah 299) Jika melupakan satu rukun dan mengingatnya setelah memasuki rukun berikutnya; seperti lupa melakukan dua sujud dan mengingatnya pada rakaat berikutnya, maka shalatnya tidak sah.
Masalah 300) Jika melupakan satu rukun dan melakukan bagian selanjutnya yang bukan rukun, dan teringat sebelum memasuki rukun berikutnya, maka ia harus melakukan rukun itu kemudian mengulangi apa yang salah dilakukan sebelumnya; misalnya jika setelah membaca tasyahhud teringat bahwa ia lupa melakukan dua sujud, maka ia harus mengucapkan tasyahud kembali setelah melakukan dua sujud.
Masalah 301) Jika lupa suatu bagian yang bukan rukun dan mengingatnya setelah memasuki rukun berikutnya; Misalnya, lupa membaca al-Fatihah dan menyadari saat sedang ruku’ bahwa ia belum membaca al-Fatihah, maka shalatnya sah dan tidak boleh bangkit kembali untuk membaca al-Fatihah.
Masalah 302) Jika melupakan suatu bagian yang bukan rukun dan melakukan bagian selanjutnya yang bukan rukun dan teringat sebelum memasuki rukun berikutnya, misalnya lupa membaca al-Fatihah dan langsung membaca surah lalu menyadarinya sebelum melakukan ruku’, maka terlebih dahulu harus membaca apa yang dilupakankannya (al-Fatihah) kemudian membaca kembali bagian yang ia baca sebelumnya (surah) karena kesalahan.
- 10. Muwalat
10. Muwalat
Masalah 303) Mushalli harus mengerjakan bagian-bagian shalat seperti ruku’, sujud, tasyahhud, dan lain-lain secara berurutan dan tidak menyisakan jarak yang panjang dan tidak lazim di antara bagian-bagiannya, hal ini disebut muwalat. Oleh karena itu, jika ada jarak antara bagian-bagian shalat sehingga dalam pandangan umum ia telah keluar dari keadaan shalat, maka shalatnya tidak sah.
Masalah 304) Jika sengaja memberi jarak yang tidak biasa di antara kata atau huruf dari suatu kata, tetapi tidak sampai menghilangkan bentuk shalat, dan ia menyadari ketika telah masuk ke rukun setelahnya, maka shalatnya sah dan ia tidak perlu mengulangi kata dan kalimat itu, tetapi jika ia menyadari sebelum memasuki rukun berikutnya, maka ia harus kembali dan membacanya lagi.
Masalah 305) Memperpanjang dzikir ruku’ dan sujud atau membaca surah yang panjang tidak menyebabkan hilangnya mawalat.
-
- Qunut
Qunut
Masalah 306) Pada rakaat kedua dari semua shalat wajib dan shalat sunnah, setelah selesai membaca al-Fatihah dan surah dan sebelum ruku’ disunnahkan untuk mengangkat tangan dan berdoa, dan tindakan ini disebut qunut.
Masalah 307) Dalam shalat Jum'at, setiap rakaat memiliki qunut, yaitu sebelum ruku’ pada rakaat pertama, dan setelah ruku’ pada rakaat kedua.
Masalah 308) Pada shalat Idul Fitri dan Idul Qurban, rakaat pertama mempunyai lima qunut dan rakaat kedua empat qunut.
Masalah 309) Pada saat qunut bisa melafalkan dan membaca dzikir, doa, atau ayat apa pun dari al-Qur'an, dan bahkan bisa membaca satu shalawat atau «سُبْحَانَ اللهِ»; Subhanallah atau «بِسْمِ اللهِ» bismillah atau «بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحیمِ» bismillahirrahmanirrahim, tetapi lebih utama untuk membaca doa-doa yang terdapat dalam al-Qur'an, seperti: «رَبَّنا آتِنَا فِی الدُّنْیَا حَسَنَةً وَ فِی الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذابَ النَّار»; rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirah hasanah aaqina ‘adzabannar (Duhai Tuhan kami! Berikan kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jauhkan kami dari siksa neraka) atau zikir dan doa-doa yang diriwayatkan dari para Imam Maksum as, seperti dzikir,
لا اِلَهَ اِلاّ اللهُ الحَلِیمُ الکَرِیمُ، لا اِلهَ اِلاّ اللهُ العَلِیُّ العَظِیمُ، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَ رَبِّ الْاَرَضِینَ السَّبْعِ وَ مَا فِیهِنَّ وَ مَا بَیْنَهُنَّ وَ رَبِّ الْعَرْشِ العَظِیمِ وَ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالَمینَ
lailaha illallahul halimul Karim, lailaha illallahul ‘Aliyyul ‘Azhim, subhanallahi Rabbissamawati as-sab’i wa rabbil ardhin al-sab’i wama fihinnah wama bainahunna wa rabbil ‘arsyil ‘azhim walhamdu lillahi tabbil ‘alamin (Tiada tuhan selain Allah yang Maha Penyabar dan Pemurah, tiada tuhan selain Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung, Maha Suci Allah Tuhan langit yang tujuh dan Tuhan bumi yang tujuh, dan apa yang ada di dalamnya dan di antaranya, Tuhan Arasy yang Agung dan segala puji hanya untuk penguasa seluruh alam).
Masalah 310) Di dalam qunut diperbolehkan untuk berdoa, meminta pengampunan, dan meminta kebutuhan dalam bahasa Persia atau bahasa lain.
Masalah 311) Disunnahkan membaca doa qunut dengan suara keras, tetapi dalam shalat berjamaah, jika imam jamaah mendengar suara ma’mum maka kesunnahan ini tidak ada.
- Bacaan-bacaan Selepas Shalat (Ta’qibat)
Bacaan-bacaan Selepas Shalat (Ta’qibat)
Masalah 312) Setelah selesai shalat, disunnahkan agar mushalli berdoa, berdzikir atau membaca al-Qur'an, tindakan ini disebut ta’qib shalat dan lebih baik melakukannya sambil duduk menghadap kiblat dalam keadaan berwudhu, mandi, atau tayammum.
Masalah 313) Ta’qibat shalat tidak wajib dalam bahasa Arab, tetapi lebih baik dan lebih utama membaca doa dan zikir yang datang dari para Imam Ma’shum as, dan di antara yang terbaik adalah dzikir yang dikenal sebagai Tasbih Sayyidah Fatimah al-Zahra as, yang terdiri dari: 34 kali Allahu Akbar, 33 kali Alhamdulillah dan 33 kali Subhanallah. Dalam buku-buku doa, ada kutipan dengan tema bagus dan ungkapan indah dari para Imam Ma’shum as.
Masalah 314) Disunnahkan agar mushalli melakukan sujud syukur setelah selesai shalat; artinya, meletakkan dahinya di atas tanah tempat sujud dengan niat mensyukuri segala nikmat dan taufik serta keberhasilan dalam shalat, dan lebih utama mengucapkan tiga kali atau lebih, «شُکْراً لِلّه» ; syukran lillah (Aku bersyukur kepada Allah dengan sebenarnya).
- Terjemahan Shalat
Terjemahan Shalat
Masalah 315) Sudah selayaknya mushalli mengucapkan kata-kata dan dzikir-dzikir shalat dengan memperhatikan maknanya, dengan khusyuk dan kehadiran hati guna memanfaatkan kesempatan shalat untuk mensucikan jiwa dan mendekatkan hati kepada Allah yang Maha Agung dan Penyayang.
Masalah 316) Terjemahan surah al-Fatihah adalah sebagai berikut:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحیمِ; Bismillahirrahmanirrahim (Dengan nama Allah Yang rahmatNya meliputi seluruh manusia di dunia dan Maha Pemberi anugerah abadi khusus kepada orang-orang Mukmin.)
اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمینَ; alhamdu lillah rabbi al-‘alamin (segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam.)
اَلرَّحْمنِ الرَّحیمِ; ar-Rahman-i-Rahim (Yang Maha Rahman (pemurah kepada siapa pun di dunia) lagi Maha Penyayang (kasih sayang yang abadi khusus bagi orang-orang Mukmin).
مَالِکِ یَوْمِ الدِّینِ ; malik-i-yaum-i-d-din (Yang menguasai hari pembalasan (Kiamat).
اِیَّاکَ نَعْبُدُ وَ اِیَّاکَ نَسْتَعینُ; iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (Ya Allah), hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.)
اِهْدِنَا الصَّراطَ المُسْتَقِیمَ; ihdinashshirathal mustaqim (Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus.)
صِراطَ الَّذِیْنَ اَنْعَمْتَ عَلَیْهِمshirathalladzina an’amta ‘alaihim (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka (menanamkan cahaya pengetahuanMu pada hati mereka)
غَیْرِ المَغْضُوبِ عَلَیْهِمْ وَ لَاالضَّالِّینَ ; ghairil-maghdubi ‘alaihim wala al-dhallin (bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (artinya: setelah Engkau berikan nikmat besar kepada mereka, mereka tidak kufur dan tidak bermaksiat sehingga tidak menyebabkan kemurkaanMu dan ketersesatan mereka).
Masalah 317) Terjemah surah Tauhid adalah sebagai berikut:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِیمِ: قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ; bismillahirrahmanirrahim: qul huwallahu ahad (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang; Katakanlah: Dialah satu-satunya Tuhan.)
اَللهُ الصَّمَدُ ; Allahu al-shamad (Tuhan tidak membutuhkan dan setiap orang membutuhkan Dia.)
لَمْ یَلِدْ وَ لَمْ یُولَدْ ; lamyalid walm yulad (Dia tidak memiliki anak dan bukan anak siapa pun.)
وَ لَمْ یَکُنْ لَهُ کُفُواً اَحَدٌ ; walam yakun lahu kufwan ahad (Dan tidak ada seorangpun yang setara denganNya.)
Masalah 318) Terjemahan dzikir ruku’ dan sujud dan beberapa dzikir yang disunnahkan adalah:
سُبْحَانِ اللهِ ; subhanallah (Maha Suci Allah.)
سُبْحَانَ رَبِّیَ الْعَظیمِ وَ بِحَمْدِه ; subhanarabbiyal ‘azhim wa bihamdihi (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung dan dan aku memuji Dia.)
سُبْحانَ رَبِّیَ الْاَعْلی وَ بِحَمْدِهِ ; subhanarabbiyal a’la wa bihamdihi (Maha Suci Tuhanku, Yang Maha Tinggi, dan aku memuji Dia.)
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ; sami’allahu liman hamidah (Semoga inayah Allah diarahkan kepada orang yang memujiNya.)
اَسْتَغْفِرُ اللهَ رَبِّی وَ اَتُوبُ اِلَیْهِ ; astaghfirullaha Rabbi wa atubu ilaihi (Aku memohon ampunan kepada Allah yang adalah Tuhanku, dan aku bertaubat kepada-Nya.)
بِحَوْلِ اللهِ وَ قُوَّتِهِ اَقُومُ وَ اَقْعُدُ ; bihaulillahi aa quwwatihi aqumu wa aq’udu (Dengan kehendak Allah dan kekuatanNya saya bangun dan duduk.)
Masalah 319) Terjemahan doa qunut adalah sebagai berikut:
رَبَّنا آتِنا فِی الدُّنْیَا حَسَنَةً وَ فِی الْآخِرَةِ حَسَنَةً ; Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah (Wahai Tuhan kami! Berikanlah kebaikan di dunia ini kepada kami dan kebaikan di akhirat.)
وَ قِنَا عَذَابَ النَّار ; wa qina ‘adzabannar (dan jauhkanlah kami dari siksa neraka.)
لا اِلَهَ اِلاَّ اللهُ الحَلِیمُ الکَرِیمُ ; lailaha illallahul halimul Karim (Tidak ada tuhan selain Allah, Yang Maha Penyabar lagi Maha Pemurah.)
لا اِلَهَ اِلاَّ اللهُ العَلِیُّ العَظیمُ ; lailaha illallahul ‘sliyul al-‘szhim (Tidak ada tuhan selain Allah, yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.)
سُبْحانَ اللهِ رَبِّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ ; dubhanallah Rabbissamawati al-sab’i (Maha Suci Allah, Penguasa dan Tuhan Tujuh Langit.)
وَرَبِّ الاَرَضیْنَ السَّبْعِ ; wa Rabbil ardhina al-sab’i (Dan Tuhan tujuh bumi.)
وَمَا فِیْهِنَّ وَ مَا بَیْنَهُنَّ ; wama fihinnah wama bainahunna (Dan Tuhan semua yang ada di dalam mereka atau di antara mereka.)
وَ رَبِّ الْعَرْشِ الْعَظیمِ ; wa Rabbil ‘arsyil ‘azhim (Dan Tuhan Arsy yang Agung.)
وَ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِینَ ; wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin (Dan segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam.)
Masalah 320) Terjemahan Tasbihatul Arba’ah adalah:
سُبْحانَ اللهِ ; subhanallah (Maha Suci Allah.)
وَالحَمْدُ لِلهِ ; walhamdu lillah (dan segala puji hanya bagi Allah.)
وَ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ ; walailaha illallah (dan tidak ada Tuhan selain Allah.)
وَ اللهُ اَکْبَرُ ; wallahu Akbar (dan Allah Maha Besar.)
Masalah 321) Terjemahan tasyahhud dan salam adalah sebagai berikut:
اَلْحَمْدُ لِلهِ ; al-hamdu lillah (segala puji hanya milik Allah.)
اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ ; asyhadu allailaha illallah (aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.)
وَحْدَهُ لاَ شَریکَ لَهُ ; wahdahu lasyarikalahu (Dia Maha Tunggal dan tidak ada sekutu baginya.)
وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَ رَسُولُهُ ; wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu (dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.)
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلی مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ ; Allahumma shalli ‘sla Muhammad wa sli Muhammad (Ya Tuhan! Shalawat dan salam atas Muhammad dan keluarga Muhammad.)
وَ تَقَبَّلْ شَفاعَتَهُ وَ ارْفَعْ دَرَجَتَهُ ; wa taqabbal syafa’atahu warfa’ darajatahu (dan terimalah syafaatnya dan angkat derajatnya.)
اَلسَّلامُ عَلَیْکَ اَیُّهَا النَّبِیُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَکاتُهُ ; assalamu ‘alaika ayyuhannabiyu wa rahmatullahi wa barakatuhu (salam sejahtera bagimu, ya Nabi, dan rahmat dan berkah untukmu, ya Nabi!)
اَلسَّلامُ عَلَیْنَا وَ عَلی عِبادِ اللهِ الصَّالِحینَ ; assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahishshalihin (salam sejahtera atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang salih.)
اَلسَّلامُ عَلَیْکُم وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَکاتُهُ ; assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu (salam sejahtera bagimu dan rahmat dan berkah Allah bagimu (orang beriman - malaikat).
- Hal-hal yang Membatalkan Shalat
Hal-hal yang Membatalkan Shalat
Masalah 322) Hal-hal yang membatalkan shalat adalah:
1. Hilangnya salah satu syarat yang harus dijaga dalam keadaan shalat;
2. Batalnya wudhu atau mandi;
3. Berpaling dari kiblat;
4. Berbicara;
5. Tertawa;
6. Menangis;
7. Hilangnya bentuk shalat;
8. Makan dan minum;
9. Keraguan-keraguan yang membatalkan shalat;*
* Akan dijelaskan di bagian keraguan-keraguan.10. Menambah dan mengurangi rukun shalat;
11. Mengatakan amin setelah membaca al-Fatihah;
12. Meletakkan kedua tangan di depan badan atau bersedekap (takattuf).Masalah 323) Jika salah satu syarat yang harus dijaga dalam keadaan shalat telah hilang, seperti di pertengahan shalat menyadari bahwa tempat yang dipergunakan untuk shalat adalah hasil rampasan atau curian, maka shalatnya batal.
Masalah 324) Jika salah satu hal yang membatalkan wudhu, mandi, atau tayammum terjadi di pertengahan shalat, seperti tertidur saat sedang shalat, buang air kecil atau sejenisnya, maka shalatnya batal.
Masalah 325) Jika sengaja memalingkan wajah atau tubuh dari kiblat hingga dapat dengan mudah melihat sisi kanan dan kirinya, maka shalat menjadi batal, dan berdasarkan ihtiyat wajib melakukannya dengan tidak sengaja pun akan membatalkan shalat, akan tetapi jika hanya sedikit memalingkan wajah ke salah satu dari dua sisi, maka hal ini tidak akan membatalkan shalat.
Masalah 326) Berbicara dengan sengaja saat shalat; sekalipun hanya satu kata, akan membatalkan shalat.
Masalah 327) Bunyi yang dikeluarkan seseorang akibat batuk dan bersin, meskipun mengeluarkan suara, tidak membatalkan Shalat.
Masalah 328) Jika mengucapkan suatu kata dengan niat dzikir, seperti mengatakan, «الله اکبر» “Allahu Akbar" dengan meninggikan suara ketika mengatakannya agar orang lain mengerti sesuatu, maka hal ini tidak masalah, tetapi jika ia berdzikir dengan niat membuat orang lain memahami sesuatu; meskipun juga memiliki niat berdzikir, shalatnya menjadi batal.
Masalah 329) Seseorang tidak boleh mengucapkan salam kepada orang lain saat sedang shalat, tetapi jika seseorang mengucapkan salam kepadanya, maka wajib untuk menjawab salam tersebut, dan menjawab salam harus sedemikian rupa sehingga mendahulukan kata salam, misalnya dengan mengatakan, (سلام علیکم) salamun ‘alaikum atau (السلام علیکم) assalamu ‘alaikum dan tidak boleh mengatakan, (علیکم السلام) ‘alaikumussalam.
Masalah 330) Jika seseorang mengucapkan salam kepada sekelompok orang dan mengatakan, «اَلسَّلامُ عَلَیکُم جَمِیعاً» assalamu ‘alaikum jami’an dan salah satu dari mereka sedang dalam keadaan shalat, jika orang lain telah menjawabnya, maka orang yang sedang shalat tidak boleh membalas ucapan salam tersebut.
Masalah 331) Menjawab ucapan salam seorang anak yang sudah mumayyiz adalah wajib seperti orang dewasa.
Masalah 332) Menjawab salam adalah wajib segera, dan jika karena suatu sebab seseorang menundanya sehingga tidak dihitung sebagai jawaban dari suatu salam, dan ia sedang melakukan shalat, maka ia tidak boleh menjawab ucapan salam tersebut, dan pada selain shalat pun tidak ada kewajiban untuk menjawabnya, dan jika ragu pada seberapa lama keterlambatannya maka hukumnya tetap demikian, hanya saja jika keterlambatan menjawab ucapan salam itu disengaja, berarti ia telah berdosa.
Masalah 333) Jika saat mengucapkan salam kepada mushalli menggunakan kata "salam" sebagai pengganti "salamun ‘alaikum”, maka ketika secara ‘urf (tradisi) hal itu disebut ucapan salam, menjawabnya adalah wajib dan ihtiyat wajibnya untuk menjawab dengan cara yang sama seperti yang telah dikatakan sebelumnya.
Masalah 334) Tertawa yang disengaja dan dengan suara keras (terbahak-bahak) akan membatalkan shalat, tetapi tertawa yang tidak disengaja atau tanpa suara, tidak membatalkan shalat.
Masalah 335) Mushalli yang tidak dapat menahan tawanya, jika mukanya memerah atau badannya bergetar karena kerasnya menahan tawa, shalatnya akan tetap sah selama bentuk shalatnya tidak berubah.
Masalah 336) Menangis dengan keras dan sengaja untuk urusan dunia membatalkan shalat, tetapi jika karena takut kepada Allah atau untuk urusan akhirat, maka tidak ada masalah, melainkan itu adalah salah satu amalan yang paling baik.
Masalah 337) Melakukan hal-hal yang merusak bentuk ahalat; seperti bertepuk tangan dan melompat ke atas; baik dilakukan dengan sengaja atau tidak, akan membatalkan shalat.
Masalah 338) Jika mushalli menggerakkan tangan, mata, dan alisnya sebentar saat sedang shalat untuk menjelaskan sesuatu kepada seseorang atau sebagai jawaban atas pertanyaannya dengan cara yang tidak bertentangan dengan ketenangan atau bentuk shalat, maka shalatnya tidak batal.
Masalah 339) Tidak mengapa menutup mata dalam shalat dan tidak membatalkan shalat, meskipun makruh pada selain ruku’.
Masalah 340) Makruh bagi mushalli mengusapkan kedua tangannya ke mukanya setelah membaca doa qunut, tetapi shalatnya tidak batal.
Masalah 341) Makan dan minum saat sedang shalat membatalkan shalat, baik banyak atau sedikit. Akan tetapi menelan remah-remah makanan yang tertinggal di sudut-sudut mulut atau memakan makanan manis yang sedikit gulanya menempel dan tersisa di mulut tidak membatalkan shalat. Demikian juga, makan atau minum sesuatu dengan tidak sengaja atau karena lupa, asalkan tidak keluar dari kondisi shalat, maka shalatnya tidak batal.
Masalah 342) Barangsiapa dengan sengaja atau tidak sengaja mengurangi atau menambah rukun shalat atau dengan sengaja mengurangi atau menambah salah satu kewajiban yang bukan rukun shalat, maka shalatnya batal.
Masalah 343) Tidak diperbolehkan mengucapkan kalimat “Amin” setelah membaca surah al-Fatihah dan itu dapat membatalkan shalat. Tapi jika melakukannya dengan alasan taqiyyah, maka tidak masalah. Demikian juga berdiri dengan tangan bersedekap, jika dilakukan dengan niat bahwa tindakan ini adalah bagian dari shalat, maka membatalkan shalat, dan ihtiyat wajib untuk tidak melakukannya meskipun melakukannya tanpa niat ini.
Masalah 344) Tidak diperbolehkan menghentikan shalat wajib tanpa uzur dan alasan.
Masalah 345) Jika tidak mungkin menyelamatkan nyawa atau harta benda yang wajib dijaga dengan tanpa membatalkan shalat, maka shalat harus ditinggalkan, dan secara umum diperbolehkan menghentikan shalat untuk mencegah risiko kehilangan jiwa dan harta yang signifikan dan penting bagi mushalli.
- Keraguan-keraguan Shalat
- Sujud Sahwi
- Mengganti (qadha) sujud dan tasyahud yang lupa
Mengganti (qadha) sujud dan tasyahud yang lupa
Masalah 400) Jika dengan tidak sengaja meninggalkan salah satu perbuatan wajib shalat yang bukan rukun, maka shalat tidak menjadi batal, dan juga tidak wajib diqadha; kecuali dalam sujud dan berdasarkan ihtiyat wajib dalam tasyahud dimana keduanya harus diqadha setelah selesai shalat.
Masalah 401) Jika salah satu sujud ditinggalkan secara tidak sengaja dan baru menyadarinya pada saat ruku’ rakaat berikutnya atau setelahnya, maka setelah selesai shalat harus diqadha.
Masalah 402) Jika lupa membaca tasyahhud dan menyadarinya pada saat ruku’ rakaat berikutnya atau sesudahnya, maka shalat tidak batal; namun berdasarkan ihtiyat wajib, setelah mengucapkan salam shalat, harus mengqadhanya.
Masalah 403) Pada saat mengqadha sujud dan bacaan tasyahud yang dilakukan setelah shalat, semua syarat shalat harus dipenuhi; seperti kesucian badan dan pakaian, menghadap kiblat dan syarat-syarat lainnya.
Masalah 404) Orang yang melakukan qadha bacaan tasyahud setelah mengucapkan salam shalat, tidak wajib mengucapkan salam setelah mengqadha tasyahhud, dan orang yang melakukan qadha sujud, tidak wajib membaca tasyahhud dan salam setelah mengqadha sujud.
Masalah 405) Jika di antara ucapan salam dan qadha sujud atau tasyahud, melakukan salah satu hal yang membatalkan shalat, seperti memalingkan muka dari kiblat, maka harus melakukan qadha sujud dan tasyahud, dan Shalatnya sah.
Masalah 406) Seseorang yang harus melakukan qadha sujud atau tasyahud, jika karena perbuatan lain juga wajib untuk melakukan sujud sahwi, maka setelah shalat ia harus mengqadha sujud atau tasyahud terlebih dahulu, kemudian baru melakukan sujud sahwi.
- Shalat Musafir (dalam Perjalanan)
- Shalat Qadha
Shalat Qadha
Masalah 627) Seseorang yang tidak melaksanakan shalat wajib yaumiyah pada waktu yang telah ditentukan karena sengaja, atau lupa, atau karena jahil, atau menyadari bahwa shalatnya tidak sah setelah lewat waktunya, maka wajib untuk meng-qadha shalatnya.
Masalah 628) Jika seseorang tidak melakukan shalat wajib yang bukan yaumiyah; secara tepat pada waktunya seperti shalat-shalat ayat, maka wajib untuk meng-qadha shalatnya.
Masalah 629) Meng-qadha shalat menjadi wajib ketika mukalaf yakin bahwa shalatnya tidak dikerjakan atau tidak sah, tetapi jika ia ragu atau menduga bahwa ia tidak mengerjakan shalat atau menduga shalatnuya batal, maka tidak wajib untuk meng-qadhanya.
Masalah 630) Jika mukalaf tidak sadar (pingsan) di sepanjang waktu shalat, maka tidak ada kewajiban untuk mengqadha shalatnya; kecuali ketidaksadaran itu atas kehendaknya sendiri, dimana berdasarkan ihtiyat wajib ia harus meng-qadhanya.
Masalah 631) Seorang non-Muslim yang telah masuk Islam tidak wajib meng-qadha shalat yang tidak dilakukannya sebelum menjadi Muslim; tetapi seorang yang murtad, yaitu Muslim yang keluar dari Islam lalu bertobat dan kembali menganut Islam, maka ia arus meng-qadha shalat-shalat yang ditinggalkannya semasa murtad.
Masalah 632) Shalat-shalat yang tidak dilakukan oleh perempuan dalam masa haid atau nifas, tidak ada qadhanya.
Masalah 633) Tidak wajib bagi orang yang memiliki shalat qadha untuk segera melaksanakannya, tentu saja ia tidak boleh bersikap kurang peduli dalam menunaikannya.
Masalah 634) Seseorang yang mengerjakan shalat tanpa bersuci dari hadats karena ketidaktahuan tentang masalah atau hukum syarinya; seperti orang yang tidak mengetahui bahwa ia telah junub dan ia tidak mandi, atau ia menunaikan shalat dengan mandi atau wudhu yang tidak sah, maka ia harus meng-qadha shalatnya.
Masalah 635) Qadha shalat wajib harus dilakukan seperti qadha yang seharusnya dilakukan; oleh karena itu, jika kewajiban mukalaf adalah shalat empat rakaat dan ia tidak mengerjakannya, maka ia harus melakukan qadha shalat empat rakaat (kendati ia melakukannya di perjalanan) dan jika ia tidak mengerjakan shalat-shalat empat rakaat dalam perjalanan (dimana kewajibannya adalah shalat qashar), maka ia harus menunaikannya secara qashar; meskipun ia tidak sedang dalam perjalanan.
Masalah 636) Qadha shalat wajib dapat dilakukan kapan saja sepanjang siang dan malam, dan tidak musti qadha shalat Subuh dikerjakan pada waktu shalat Subuh atau qadha shalat Dzuhur pada waktu shalat Dzuhur.
Masalah 637) Parameter dalam meng-qadha shalat adalah akhir waktu. Oleh karena itu, jika di akhir waktu dimana seseorang melewatkan shalatnya ia tengah berada dalam perjalanan, maka ia harus mengqadha shalatnya secara qashar; meskipun di awal waktu ia telah berada di wathannya, dan jika di akhir waktu ia tidak dalam perjalanan, maka ia harus menunaikan shalatnya secara sempurna; meskipun ia adalah seorang musafir di awal waktu.
Masalah 638) Tidak ada kewajiban untuk menjaga urutan dalam mengerjakan shalat qadha; kecuali pada qadha shalat Dzuhur dan Ashar satu hari dan qadha shalat Maghrib dan Isya satu hari.
Masalah 639) Orang yang tidak mengetahui jumlah shalat qadha yang harus ia lakukan, ia bisa mencukupkan diri dengan jumlah yang ia yakini.
Masalah 640) Orang yang masih memiliki shalat qadha bisa melaksanakan shalat ada. Tetapi jika ia hanya memiliki satu shalat qadha, maka ihtiyat wajib untuk melaksanakan shalat qadha terlebih dahulu; khususnya jika shalat qadhanya terkait dengan hari yang sama.
Masalah 641) Seseorang yang punya tanggungan shalat qadha, dapat menunaikan shalat nafilah dan shalat mustahab.
Masalah 642) Merngqadha shalat-shalat nafilah harian adalah mustahab.
- Shalat Istijarah
Shalat Istijarah
Masalah 643) Jika ada ibadah seperti shalat atau puasa yang tidak dilakukan oleh mayat di masa hidupnya, maka seseorang diperbolehkan menyewa orang lain untuk melakukan qadha atas nama mayat. Demikian juga diperbolehkan melakukannya secara cuma-cuma, dan dengan melakukan qadha ini, maka orang yang meninggal akan lepas dari tanggung jawabnya.
Masalah 644) Shalat yang diniatkan untuk mayat dengan cara menyewa orang lain disebut dengan shalat istijarah.
Masalah 645) Jika mayat telah membuat wasiat dalam hal menyewa seseorang untuk melakukan qadha shalatnya, maka sepertiga dari peninggalannya dipergunakan untuk melaksanakan wasiat tersebut, dan jika lebih dari itu, maka harus ada izin dari ahli waris.
Masalah 646) Orang yang disewa untuk menunaikan shalat istijaroh, saat mengerjakan shalat tidak perlu menyebutkan mayat dengan ciri-cirinya, tetapi identifikasi secara umum telah dianggap mencukupi. Misalnya, orang yang disewa untuk mengqadhakan shalat dua orang, jika ia berniat menunaikan shalat qadha untuk mayat pertama yang menyewanya, maka hal ini sudah dianggap mencukupi.
Masalah 647) Jika tidak ada syarat khusus dalam melaksanakan shalat istijaroh (seperti melakukannya secara berjamaah atau mengerjakannya di masjid), maka orang yang disewa hanya wajib melaksanakan shalat dengan kewajiban-kewajibannya.
Masalah 648) Sejenis tidak menjadi syarat dalam melaksanakan shalat qadha untuk mayat, berarti laki-laki bisa mengerjakan shalat qadha untuk perempuan dan perempuan bisa melakukan shalat qadha untuk laki-laki; baik itu untuk disewa atau c uma-cuma.
Masalah 649) Mengenai shalat dengan suara jahar ataukah ihfat, wakil harus bertindak sesuai dengan kewajibannya masing-masing. Oleh karena itu, jika seorang laki-laki menjadi wakil untuk mengerjakan shalat qadha seorang perempuan, maka ia tetap harus membaca al-Fatihah dan surah pada shalat-shalat Subuh, Maghrib dan Isya dengan suara keras (jahar).
Masalah 650) Orang yang menjadi wakil untuk mengerjakan shalat qadha mayat, maka ia harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Harus mengetahui masalah-masalah shalat secara benar, dengan ijtihad ataukah taqlid.
2. Dipercaya bahwa ia melakukan shalat dengan benar.
3. Tidak punya halangan atau uzur; misalnya orang yang shalat sambil duduk tidak bisa disewa untuk melakukan shalat qadha mayat. - Shalat Qadha untuk Orang Tua
Shalat Qadha untuk Orang Tua
Masalah 651) Wajib bagi anak laki-laki tertua untuk mengqadha shalat-shalat ayahnya dan ihtiyath wajib untuk mengqadhakan shalat ibunya yang telah meninggal.
Masalah 652) Jika ayah atau ibu sama sekali tidak mengerjakan shalat, maka berdasarkan ihtiyat wajib anak laki-laki tertua wajib melaksanakan shalat qadha untuk mereka.
Masalah 653) Yang dimaksud dengan anak laki-laki tertua adalah anak laki-laki tertua yang masih hidup pada saat orang tuanya meninggal dunia, baik ia sudah dewasa (baligh) maupun belum.
Masalah 654) Jika anak tertua almarhum adalah perempuan dan anak keduanya laki-laki, maka yang wajib untuk melakukan shalat qadha orang tua adalah anak laki-laki tertua yang merupakan anak kedua.
Masalah 655) Jika orang lain (selain anak laki-laki tertua) yang mengerjakan shalat qadha untuk orang tua, maka kewajiban itu menjadi gugur bagi anak laki-laki tertua.
Masalah 656) Anak laki-laki tertua wajib mengqadha jumlah shalat yang ia yakini tidak dilakukan oleh kedua orang tuanya, dan jika ia tidak mengetahui apakah mereka punya kewajiban shalat qadha atau tidak, maka tidak ada yang wajib bagi anak tertua, dan penyelidikan dalam hal ini tidak perlu dilakukan.
Masalah 657) Anak laki-laki tertua wajib mengerjakan shalat qadha orang tuanya dengan cara apapun yang memungkinkan, namun jika ia tidak mampu melakukannya, maka tidak ada kewajiban baginya.
Masalah 658) Seseorang yang memiliki tanggungan shalat qadha sendiri dan juga shalat qadha orang tuanya, maka ia mempunyai pilihan mana yang lebih awal akan ia kerjakan, ia boleh mengerjakan shalat qadhanya sendiri terlebih dahulu atau sebaliknya.
Masalah 659) Jika anak laki-laki tertua meninggal setelah kematian orang tuanya, maka anak-anak yang lain tidak wajib mengqadhakan shalat orang tuanya.
- Shalat-Shalat Ayat
- Shalat Idul Fitri dan Idul Qurban
Shalat Idul Fitri dan Idul Qurban
Masalah 681) Pada masa kehadiran Ma’shum as, shalat Idul Fitri dan Idul Qurban adalah wajib dan harus dilakukan secara berjamaah, sementara pada zaman sekarang ini (yang merupakan kegaiban kubra) hukumnya menjadi sunnah.
Masalah 682) Waktu shalat Idul Fitri dan Idul Qurban adalah dari awal terbitnya matahari pada hari raya hingga Dzuhur.
Masalah 683) Disunnahkan melakukan shalat Idul Adha setelah matahari naik, dan pada Idul Fitri disunnahkan terlebih dahulu memakan sesuatu setelah matahari terbit dan membayar zakat fitrah, kemudian baru mengerjakan shalat Idul Fitri.
Masalah 684) Shalat Idul Fitri dan Idul Qurban terdiri dari dua rakaat, pada rakaat pertama, setelah membaca Al-Fatihah dan surah, harus mengucapkan lima takbir, dan setelah setiap takbir, membaca satu qunut, dan setelah qunut yang kelima, membaca takbir lagi, lalu ruku’ dan berdiri setelah dua sujud dan pada rakaat kedua, setelah membaca Al-Fatihah dan surah, mengucapkan empat takbir dan setelah setiap takbir, membaca qunut dan mengucapkan takbir kelima, lalu ruku’ dan melanjutkan serta menyelesaikan shalat.
Masalah 685) Pada shalat Idul Fitri dan Idul Qurban disunnahkan untuk membaca dengan suara keras.
Masalah 686) Shalat Idul Fitri tidak memiliki surah khusus, namun lebih baik untuk membaca surah al-Syams pada rakaat pertama dan surah al-Ghasyiyah pada rakaat kedua, atau surah sl-A’la pada rakaat pertama dan surah al-Syams pada rakaat kedua.
Masalah 687) Dalam qunut shalat Idul Fitri dan Idul Qurban, melafalkan permohonan dan zikir apapun telah dianggap mencukupi, tetapi lebih utama untuk membaca doa berikut ini dengan harapan memperoleh pahala:
"اَللّهُمَّ اَهلَ الکِبریاءِ وَ العَظَمَةِ وَ اَهلَ الجوُدِ وَ الجَبَروُتِ وَ اَهلَ العَفوِ وَ الرَّحمَةِ وَ اَهلَ التَّقوی وَ المَغفِرَةِ اَساَلُکَ بِحَقِّ هذَا الیَومِ الَّذی جَعَلتَهُ لِلمُسلِمینَ عیداً وَ لِمُحَمَّدٍ صَلَّی اللهُ عَلَیهِ وَ آلِهِ ذُخراً وَ شَرَفاً وَ کَرامَةً وَ مَزیداً اَن تُصَلِّیَ عَلی مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ وَ اَن تُدخِلَنی فی کُلِّ خَیرٍ اَدخَلتَ فیهِ مُحَمَّداً وَ آلَ مُحَمَّدٍ و اَن تُخرِجَنی مِن کُلِّ سوُءٍ اَخرَجتَ مِنهُ مُحَمَّداً وَ آلَ مُحَمَّدٍ صَلَواتُکَ عَلَیهِ وَ عَلَیهِم اَللّهُمَّ اِنّی اَساَلُکَ خَیرَ ما سَاَلَکَ بِهِ عِبادُکَ الصّالِحونَ وَ اَعوذُ بِکَ مِمَّا استَعاذَ مِنهُ عِبادُکَ المُخلَصونَ"
Allahumma Ahlal Kibriyai wal ‘Azhamah wa Ahlal Judi wal Jabarut wa Ahlal ‘Afwi wa al-Rahmah wa Ahlattaqwa wal Maghfirah As’aluka bihaqqi Hadzal Yaumi al-Ladzi Ja’altahu Lilmuslimina ‘Idan wa Limuhammadin Shallallahu ‘Alaihi wa Alihi Dzukran wa Syarafan wa Karamatan wa Mazidan Antushalliya ‘ala Muhammadin wa Ali Muhammadin wa Antudkhilani fi kulli Khairin Adkhalta fihi Muhammadan wa Ala Muhammadin wa Antukhrijani min Kulli su’in Akhrajta minhu Muhammadan wa Ala Muhammadin Shalawatuka ‘Alaihi wa ‘Alaihim Allahumma Inni As’aluka Khaira ma sa’alaka bihi ‘Ibaduka al-Shalihuna wa A’udzu bika Mimmas Ta’adza minhu ‘Ibadukal Mukhlashun.
(Ya Allah, wahai pemilik kebesaran dan keagungan, wahai pemilik kedermawanan dan keagungan, wahai pemilik maaf dan rahmat, wahai pemilik takwa dan ampunan, aku memohon kepada-Mu demi hak hari ini yang telah Kau jadikan bagi Muslimin sebagai hari raya dan bagi Muhammad saw sebagai simpanan, kemuliaan dan tambahan (kedudukan) agar Kau curahkan shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, memasukkanlah aku dalam setiap kebaikan yang telah Kau masukkan di dalamnya Muhammad dan keluarga Muhammad, dan keluarkanlah aku dari setiap keburukan yang darinya telah Engkau keluarkan Muhammad dan keluarga Muhammad, shalawat-Mu atasnya dan atas mereka semua. Ya Allah, aku mohon kepada-Mu kebaikan apa yang telah diminta oleh hamba-hamba-Mu yang salih kepadaMu dan aku berlindung kepadaMu dari apa yang hamba-hamba-Mu yang salih berlindung kepada-Mu darinya).
Masalah 688) Membaca qunut yang pendek atau panjang pada shalat Idul Fitri dan Idul Adha tidak masalah, akan tetapi tidak boleh menambah atau mengurangi jumlahnya.
Masalah 689) Jika mushalli ragu dalam takbir shalat dan qunutnya, jika ia belum melewati tempatnya, hendaknya menetapkan yang sedikit, dan jika ternyata kemudian diketahui sudah dibaca, maka hal itu tidak masalah.
Masalah 690) Jika yang dilupakan adalah bacaan, takbir atau qunut, maka shalatnya dianggap sah, akan tetapi jika yang dilupakan adalah ruku’, dua sujud atau takbiratul-ihram, maka shalatnya batal.
Masalah 691) Tidak ada shalat qadha untuk Idul Fitri dan Idul Qurban.
- Shalat Berjamaah
- Shalat Jumat
-
- Ibadah Puasa