Situs Media Informasi Kantor Imam Ali Khamenei

Pemimpin Besar Revolusi Islam

Pidato Rahbar di Depan Para Guru Provinsi Fars

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Hari Guru dan Pekan Guru Nasional bagi saya adalah salah satu hari dan pekan yang sangat berarti dan penuh tanggungjawab pada setiap tahun. Tahun ini, dalam forum yang berlangsung di kota Shiraz ini saya mendapat taufik untuk bertatap muka dengan saudara dan saudari sekalian, para guru di Shiraz dan propinsi Fars. Ini merupakan peristiwa berharga, karena harus diakui bahwa propinsi dan kota Anda ini banyak berperan dalam pendidikan untuk orang-orang lain. Tak banyak orang berilmu yang tidak pernah menikmati berkah para ilmuan dan guru dari Shiraz, baik di bidang fikih, filsafat, sastera, syair, seni, maupun beberapa bidang keilmuan lainnya.
Atas dasar ini, hari guru adalah hari Anda semua, dan dalam satu makna juga merupakan hari segenap rakyat Iran. Sebab, guru -disamping identitas diri sebagai satu pribadi- adalah satu identitas yang dimiliki oleh setiap orang yang dapat mendidik dan mengajar orang lain. Guru adalah status yang bersifat kolektif. Guru menjadi begitu bernilai adalah karena status ini, dan harus kita akui, nilai ini kurang kita sadari; dalam praktik kita justru pasrah kepada budaya dan trend yang melihat guru hanya dalam konteks materi yaitu, layanan pengajaran yang hanya dihargai dengan uang. Ini adalah budaya materialisme; menilai segala sesuatu dari aspek daya tukarnya dengan uang. Dalam budaya ini, guru pun -langsung atau tidak langsung- juga dihargai demikian.
Kita sebagai komunitas budaya bangsa Iran ternyata juga termakan oleh budaya menyimpang ini. Padahal dalam logika Islam kedudukan guru jauh lebih mulia dari trend itu. Hakikat pendidikan dan tarbiyah adalah masalah yang sangat vital; guru adalah orang yang melahirkan kembali sosok insan yang dididiknya. Berusahalah Anda semua untuk menggali mata air dari tanah yang kelihatannya tandus ini. Tanamlah biji yang tampak sepele dan kemudian rawatlah dengan menyiramkan air padanya, niscaya akan tumbuh tunas. Inilah hakikat guru, baik dapat ditukar dengan uang atau tidak. Islam melihat pendidikan, tarbiyah, dan guru dari nuansa mata air ini.
Ini tentu bukan berarti saya akan mengabaikan harapan-harapan kesejahteraan hidup para guru di negeri kita, baik sekarang maupun di masa lalu. Masalahnya bukan ini. Harapan dan tuntutan demikian pasti ada, dan ini pada umumnya sah dan benar. Dalam konteks ini tentu sudah ada pejabat yang bertanggungjawab. Menteri baru yang sudah Anda dengar pernyataan-pernyataannya sejauh pengetahuan saya adalah pejabat yang cukup aktif dan banyak bekerja. Kita berharap, insya Allah beliau dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik dalam hal ini.
Tapi masalah yang sedang saya bahas jauh lebih penting dari konteks itu. Dan ini saya kemukakan bukan hanya untuk Anda sekalian, melainkan untuk segenap bangsa Iran agar mereka masuk ke dalam lingkaran pendidikan dan tarbiyah yang telah kalian buat untuk mereka. Menurut saya, apresiasi terhadap suatu ilmu, suatu tindakan, dan suatu identitas sekarang belum menemukan bentuknya yang ideal. Berbeda dengan dahulu. Di zaman dulu, sebelum bibit-bibit budaya Barat merambah negeri kita sedemikian rupa, yaitu 1100 tahun silam atau 1200 tahun lalu, setelah Islam membukan ranah ilmu dan pendidikan di negeri kita dalam beberapa era, secara mental dan spiritual, guru mendapatkan apresiasi yang sangat tinggi. Di wilayah pendidikan dan tarbiyah Islam tidak ada murid yang tak segan, misalnya, menyelonjorkan kakinya di depan guru.
Kita dulu juga demikian. Murid-murid kami ketika dulu kami mengajar juga berperilaku demikian. Guru di depan murid benar-benar memiliki kehormatan yang hakiki dan ini sampai sekarang masih terlihat di pusat sekolah agama (hauzah ilmiah). Sebabnya ialah akses pengaruh budaya Barat ke sana sangat minim. Dengan demikian, tradisi ini sampai sekarang masih berlaku di hauzah ilmiah; guru memiliki kedudukan yang lebih terhormat di mata murid-muridnya. Guru berwibawa bukan karena rasa takut dari murid, melainkan karena guru sangat agung dalam jiwa dan sanubari murid. Buktinya, dalam kelas seorang murid bisa dengan leluasa mengajukan kritikan dan sanggahan. Di tengah pelajaran Hauzah, sedemikian aktifnya murid memberikan sanggahan terhadap guru sehingga jarang pemandangan seperti ini terlihat di universitas-universitas kita. Murid bahkan tak perlu memohon izin terlebih dahulu dalam menyanggah materi sang guru. Kritikan terhadap guru bisa terjadi secara spontan ketika guru sedang berbicara, dan gurupun mendengarkannya dengan lapang dada. Kritikan adakalanya sangat tajam; murid tak segan-segan ngotot berdebat dengan guru untuk masalah-masalah ilmiah. Tapi di luar ini, murid mencium tangan sang guru dan tidak akan pernah berselonjor di depan guru. Tak pernah mengucapkan kata "kamu" untuk guru.
Demikianlah tradisi hubungan antara guru dan murid yang berjalan selama 12 atau 13 abad di negeri kita sampai kemudian terjadi infiltrasi budaya Barat. Ketika budaya asing ini datang, banyak terjadi kasus penganiayaan guru oleh murid di sekolah-sekolah. Banyak kasus guru menjadi sasaran olok-olok muridnya. Ada guru yang tewas di tangan muridnya karena guru memberikan nilai yang rendah kepada si murid. Ini yang kita miliki, walaupun tentu saja problema ini masih belum seberapa mengingat masa lalu sejarah kita memang berbeda. Di negara-negara lain yang menjadi sentra-sentra budaya Barat, problema seperti itu jauh lebih dahsyat dan mengerikan.
Yang saya inginkan adalah apresiasi terhadap guru hendaknya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam. Masyarakat kita perlu menghargai dan menghormati guru secara lebih layak. Jika wali murid benar-benar menghargai dan menghormati guru, maka murid di kelas maupun di luar kelas juga akan bersikap demikian kepada guru. Ini sangat kita perlukan. Bagi Anda, ini lebih berharga daripada hal-hal yang bersifat materi.
Pemimpin Besar kita, Imam Khomaini ra, adalah seorang bijak (hakiim) dalam pengertian Al-Quran. Bijak dalam pengertian ini adalah orang yang dapat melihat hakikat-hakikat yang tersembunyi dari orang lain. Sebagian ucapannya mungkin sepintas lalu tampak sederhana, tetapi kalau digali lebih jauh, maka akan ada nuansa demi nuansa yang sangat dalam. Coba perhatikan ayat-ayat Al-Quran yang menyinggung soal kebijaksanaan (hikmat) diantaranya;

ذَلِكَ مِمَّا أَوْحَى إِلَيْكَ رَبُّكَ مِنَ الْحِكْمَةِ

"Itulah sebagian hikmat yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu". (Q.S.17.39)
Wejangan Imam Khomaini ra sepintas lalu terlihat biasa saja, yaitu sesuatu yang sering kita dengar satu sama lain. Namun, begitu kita kupas, maka isinya akan terlihat sangat dalam. Contohnya adalah soal penghormatan kepada kedua orang tua. Berkah dari penghormatan kepada orang tua tidak akan pernah berakhir. Hal ini saja, kalau dikaji jauh maka maknanya akan sangat dalam. Inilah hikmat. Imam Khomaini ra adalah orang bijak. Beliau berkata, "Menjadi guru adalah pekerjaan para nabi." Ini adalah kata-kata yang sangat berharga.
Ada sejumlah ayat yang menyebutkan;

وَيُزَكِّيهِم وَ يُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَ الحِْكْمَةَ

"Dan (rasul) mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan hikmat."
Selain itu, ada pula hadits yang menisbatkan pekerjaan guru kepada Rasulullah SAW sendiri. Beliau bersabda;

اِنَّ اللَّهَ لَمْ يَبْعَثَنِى مَعَنَّتًا وَ لاَ مَتَعَنَّتًا وَلَكِنْ بَعَثَنِى مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا

"Sesungguhnya Allah tidak mengutusku dalam keadaan susah dan menyusahkan, melainkan mengutusku sebagai guru yang membawa kemudahan."

Dengan kata lain, Rasulullah SAW memberikan pelajaran kepada orang-orang yang dididiknya agar kehidupan menjadi mudah untuk mereka. Tapi mempermudah bukan berarti gampangan atau suka menyepelekan sesuatu. Beliau diutus bukan untuk menyusahkan dirinya maupun orang lain, melainkan agar kehidupan menjadi mudah dan berada di jalan yang benar, mulus, dan lurus. Inilah yang dimaksud dengan mempermudah. Adakalanya manusia memiliki tujuan, tetapi tidak mengetahui jalannya. Terkadang dia malah memilih jalan berlumpur penuh bebatuan, terjal, dan berkelok-kelok, itupun belum jelas apakah dia akan sampai pada tujuannya atau tidak. Ini namanya menyusahkan diri. Ini berbeda dengan orang yang benar-benar tahu jalan dan kemudian menggiring orang lain agar melewati jalan yang mudah, dekat, dan terjamin sampai ke tujuan. Inilah yang disebut sebagai "guru yang memudahkan".
Inilah inti dari pembicaraan ini. Inilah yang hendak saya tekankan kepada Anda selaku guru agar dapat mengenal lebih baik kedudukan dan kehormatan Anda sebagai guru. Tapi tentu ini juga lebih saya tujukan kepada masyarakat, sebab guru pada umumnya memahami kedudukannya sendiri. Guru yang sadar adalah guru yang benar-benar berilmu, mengajarkan ilmunya kepada yang lain, dan menyadari yang apa sedang dilakukannya. Ibaratnya adalah jika ada gembok dan kuncinya, maka seorang guru memberitahukan kepada yang lain bahwa gembok yang tertutup ini memiliki kunci dan kemudian memberitahunya bagaimana cara membuka gembok dengan kunci. Guru harus menunjukkan solusi di setiap bidangnya. Sebab itu - sedikit banyak- seorang guru jelas mengerti pekerjaannya.
Sebab itu, pesan ini lebih saya tujukan kepada masyarakat umum. Saya ingin agar masyarakat kita menghargai pendidikan dan tarbiyah sebagaimana Islam menghargainya. Sebab itu ada riwayat yang mengutip hadis yang berbunyi;

مَنْ عَلَّمَنِى حَرْفاً فَقَدْ صَيَّرَنِى عَبْداً

"Barangsiapa yang mengajarkan kepadaku walaupun satu huruf maka dia telah menjadikanku sebagai abdinya."
Saya tidak bermaksud melacak sejauh mana kekuatan sanad dan kesahihan hadis ini. Tetapi isinya saya kira benar. Ketika seseorang belajar sesuatu kepada yang lain maka pada dasarnya dia telah melampau suatu tahap sehingga wajar apabila dia membalas orang yang mengajarinya itu dengan pengabdian. Inilah inti pembicaraan kita.
Ada satu poin lagi yang juga bersifat normatis, dan ini saya tujukan kepada Anda sekalian. Dalam pandangan Islam, sebagaimana guru harus dimuliakan dan dihormati, muridpun juga harus dihormati. Jangan sampai merendahkan murid, sebab ini sangat berkaitan dengan aspek tarbiyah. Ada hadis yang mengatakan;

تَوَاضَعُوا لِمَن تَعَلَّمُونَ مِنهُ وَ تَوَاضَعُوا لِمَن تُعَلِّمُونَهُ

"Bersikaplah rendah hati kepada orang yang mengajarimu dan bersikaplah rendah hati kepada orang yang kamu ajari."

وَ لَا تَكُونُوا جَبَابِرَةَ الْعُلَمَاءِ

"Dan janganlah kalian menjadi ulama yang angkuh.."
Keangkuhan ada dua jenis; keangkuhan politik dan keangkuhan ilmu. Jangan angkuh seperti Fir'aun. Dulu, entah 40 atau 45 tahun silam, saya pernah melihat ada seorang dosen universitas yang juga bertipe Fir'aunis, bukan bersikap seperti ayah kepada anaknya, dalam bertutur kata, mengajar, dan memperlakukan muridnya. Guru boleh saja menegur murid, tetapi teguran jangan sampai berupa penghinaan. Murid harus dihormati. Anda tentu sudah sangat berpengalaman bahwa murid yang Anda hormati dan penghormatan inipun diresponnya akan lebih mudah dididik. Menghina dan memukul adalah perbuatan yang tidak baik. Dulu ada pameo yang mengatakan bahwa pukulan adalah untuk mendidik, tetapi sekarang terbukti bahwa pukulan tidak baik. Ini saya yakini. Murid harus diperlakukan seperti lilin yang dililit dan dibentuk, tetapi harus dengan cara yang lunak. Ini adalah seni mengajar, dan merupakan satu norma lain dalam dunia pendidikan.
Ada banyak persoalan di bidang pendidikan dan tarbiyah. Saya pernah mengulasnya dengan pola-pola saya sendiri pada pertemuan dengan para guru dalam berbagai kesempatan, juga dalam pertemuan dengan Dewan Tinggi Revolusi Kebudayaan, serta dengan menteri pendidikan dan tarbiyah. Mereka semua, tanpa kecuali, memiliki basis profesionalisme dan ini direkomendasi oleh pihak-pihak terkait di bidang pendidikan. Kami meminta mereka, dan seperti diungkapkan oleh Bapak Menteri dalam laporan yang baru saja beliau nyatakan, sebagian dari pekerjaan sudah dimulai, ada yang sudah berkembang atau sudah dilaksanakan. Ini baik, tetapi masih belum cukup. Kita perlu bekerja secara lebih mendalam di bidang pendidikan dan tarbiyah.
Pada pertemuan dengan para guru di Teheran tahun lalu, kami kemukakan masalah perubahan secara mendalam di bidang pendidikan dan tarbiyah. Apa yang dimaksud dengan perubahan mendalam ini? Berulang kali saya katakan bahwa kita tidak segan belajar dari Barat, non Barat, atau pihak-pihak asing. Kita tidak menutup diri. Kita tidak malu belajar teknik administrasi, metode pendidikan, sains, dan inovasi dari luar negeri. Bukan saja tidak malu, kita bahkan ngotot untuk itu. Hanya saja, di sini ada dua poin penting di luar masalah berguru kepada pihak lain. Sayang sekali, dua poin ini tidak diindahkan pada era "peleburan budaya", yaitu pada era rezim Syah Pahlevi. Mereka melapangkan dada tetapi sambil menutup mata sehingga menerima siapa saja yang datang dan apapun pemberiannya.
Poin pertama ialah bahwa apa saja yang kita dapatkan harus diseleksi dan dinilai apakah memang kita perlukan. Kalau memang diperlukan, maka kita harus menerimanya secara mutlak.Tapi kalau tidak kita perlukan dan apalagi malah merugikan, maka harus kita tolak mentah-mentah. Kalaupun satu diantaranya ada yang perlu kita ambil, maka kita mengambilnya sebatas keperluan kita, sedangkan selebihnya harus kita tolak. Ini poin pertama. Ibarat orang yang melihat suatu benda semisal buah atau makanan lalu memakannya dengan keinginan dan kemauan sendiri. Ini berbeda dengan orang yang dalam keadaan tangan dan kaki terikat lalu ada orang kedua menyuntikkan sesuatu kepada orang pertama. Dua kasus ini jelas berbeda, yang pertama benar dan yang kedua salah. Artinya, jangan sampai kita didoktrin. Kita sendiri yang harus memilih. Poin inilah yang sering diabaikan. Jangan sampai kita seperti orang yang hilang kesadaran dan jatuh pingsan lalu ada orang lain yang memasukkan sesuatu ke mata atau mulut dan tenggorokan kita seenaknya. Di era "peleburan budaya", kita dulu hanya menantikan apa yang hendak dituangkan ke tenggorokan kita.
Poin kedua, masalah murid dan guru ini jangan berkelanjutan tanpa kenal batas waktu. Kita siap berguru kepada orang-orang lain yang mengerti tentang apa yang belum kita mengerti, tapi jangan sampai terus menerus menjadi murid. Kita sendiri juga harus menjadi guru. Poin ini juga kurang mendapat perhatian. Kita antara lain belajar tentang metode pendidikan. Mereka memiliki metode yang bagus dan kita pun tertarik mempelajarinya. Pembagian tingkatan-tingkatan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah, misalnya, adalah pembagian yang baik dan kita tidak menolaknya, karena memang efiesen. Namun, masing-masing tingkatan harus bagaimana dan diisi dengan apa, kita tidak perlu lagi mencontoh. Kita mencontoh pembagian enam kelas. Kemudian karena mereka mengubahnya menjadi lima kelas, tiga kelas, dan seterusnya lalu kita merasa harus meniru juga, maka jelas tidak semestinya demikian.
Mereka menerapkan kurikulum dengan jumlah mata pelajaran yang banyak, lantas kita juga meniru dengan anggapan bahwa manajemen pendidikan, baik dari segi format maupun konten, sebagai masalah trend belaka, maka ini jelas salah. Kita harus melihat apa yang diperlukan dan menimbang mana kelebihan dan kekurangannya. Salah satu kekurangan pada metode ini ialah menjadikan hafalan sebagai orientasi, bukan penalaran. Metode kita lebih berorientasikan hafalan sehingga anak-anak didik seakan hendak dijadikan memori untuk selamanya.
Saya katakan dalam tanda kutip bahwa menghapal bukanlah sesuatu yang buruk. Anak menghafal dan banyak membaca buku sama sekali tidak masalah. Ini adalah sesuatu yang baik, karena dengan begitu akan banyak data yang tersimpan. Tapi ingat bahwa sebagian data bisa jadi tidak dipahaminya. Ketika belajar di sekolah dasar dulu, saya belajar di sekolah yang programnya berbeda dengan program sekolah lain. Di situ diajarkan misalnya kumpulan sayir Golestan yang sebagian prosa dan syairnya saya hafal. Waktu itu banyak kata yang tidak saya mengerti, tapi lama-lama saya paham maksudnya. Jadi hafalan itu baik. Bisa jadi orang tidak memahami suatu hal yang dihafalnya, tetapi hafalan ini setidaknya bisa membuka peluang bagi aktivitas pikiran. Hafalan itu baik, tetapi menjadikan hafalan sebagai orientasi dan poros usaha adalah sesuatu yang buruk. Yang harus menjadi orientasi usaha adalah penalaran dan pemahaman, walaupun harus dibantu dengan hafalan.
Jadi ini semua harus dibenahi. Jika sekarang tidak kita benahi, maka siapa lagi yang akan membenahinya?! Era "Peleburan Budaya", seperti disebutkan oleh almarhum Ali Ahmad, adalah era westernisasi dan era keterpesonaan di depan peradaban Barat yang kini sudah berlalu. Sekarang, wajah yang kelihatannya gemerlap dan bermake-up tebal serta tampak elegan dan menawan kini sudah kembali ke negeri asalnya. Kita dan sebagian besar masyarakat dunia sudah tahu kenyataan yang sebenarnya; keburukan dan hipokritasnya sudah terungkap. Kita sudah mengetahui banyak hal yang 50 tahun silam tidak kita ketahui.
Kita harus bekerja keras untuk masalah ini. Siapa yang harus bekerja? Dinas Pendidikan dan Tarbiyah. Memang, Dinas Pendidikan dan Tarbiyah telah membentuk komite, dan ini juga memang sudah seharusnya. Dinas Pendidikan dan Tarbiyah harus menyingsingkan lengan bajunya untuk melaksanakan tugas ini. Pada prinsipnya ini adalah kerjaan para pakar. Anda juga jangan menjauh dari para pakar di Dewan Tinggi Revolusi Kebudayaan atau instansi-instansi lain. Manfaatkan mereka dan bekerjalah sampai membuahkan persembahan yang matang untuk bangsa Iran dan generasi mendatang bangsa ini, dan agarnya hasilnya pun menjadi baqiyyatus shalihaat (buah karya yang baik). Ini adalah poin yang menurut saya sangat penting.
Masalah lain yang juga penting ialah pendidikan para guru di pusat-pusat pendidikan Dinas Pendidikan dan Tarbiyah. Saya yakin Departemen Pendidikan dan Tarbiyah memiliki kapasitas yang tinggi dalam pendidikan guru. Kapasitas ini harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. Jangan menutup pintu. Gunakan seluruh kapasitas yang tersedia. Bisa jadi ada orang yang tidak memiliki ijazah kesarjanaan, tetapi memiliki keahlian di bidang tertentu. Di Masyhad kita melihat ada beberapa sasterawan yang sama sekali tidak memiliki ijazah perguruan tinggi, tetapi mereka menjadi dosen. Di bidang sastera, mereka adalah pakar yang banyak tahu tentang Nasir Khosrou, Mas'ud Sa'ad Salman, Hafez, dan Saeb dengan kualitas yang lebih baik daripada dosen pada umumnya. Hal yang sama mungkin bisa terjadi di bidang-bidang keilmuan lainnya. Tak usah menutup diri dari orang-orang seperti mereka.
Dinas Pendidikan dan Tarbiyah bertanggungjawab mempersembahkan orang-orang terdidik dari berbagai strata. Keliru jika kita beranggapan bahwa Dinas Pendidikan dan Tarbiyah hanya semata-mata fasilitator untuk menuju universitas. Sebagian orang mengaitkan urusan dunia dan akhiratnya dengan jalan menuju universitas. Anda tentu pernah mendengar seorang pemuda terkena tekanan mental dan dimarahi oleh orang tuanya lantaran tidak diterima dalam seleksi calon mahasiswa. Seharusnya tidak sampai demikian! Memang, universitas adalah jalan untuk mengembangkan ilmu dan penelitian, dan ini dibutuhkan oleh negara. Anda tahu saya ikut mengkampanyekan dan sangat menekankan pengembangan dan pendalaman ilmu. Tapi ini bukan berarti kita tidak menghendaki penjual yang baik, atau pengemudi, pekerja, dan teknisi yang baik.
Belajar di universitas bukan satu keharusan yang sangat mendesak. Ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan di seluruh negeri ini.Tetapi mereka perlu perhatian dari Dinas Pendidikan dan Tarbiyah. Jadi, Dinas Pendidikan dan Tarbiyah bukan semata-mata gerbang menuju universitas. Universitas tentu saja sangat baik dan diperlukan. Tetapi jangkauan Dinas Pendidikan dan Tarbiyah harus lebih luas sekedar urusan universitas. Anda juga harus berusaha supaya pendidikan dan tarbiyah bisa mendidik orang agar memiliki kemampuan dan ketrampilan yang memadai serta dapat dimanfaatkan di tempat kerja manapun. Sebagian orang memiliki potensi dan minat untuk belajar di universitas, dan sebagian lain tidak berpotensi dan tidak pula berminat untuk itu.
Ini semua tentu saja berbeda dengan masalah mengindahkan keadilan. Dalam isu keadilan, kita harus bekerja untuk menjaga keadilan. Artinya, jika ada orang yang antusias dan berpotensi tetapi tidak memiliki kemampuan secara materi, maka kita harus membantunya agar keinginannya bisa tercapai. Ini adalah keadilan. Dengan kata lain, peluang harus dibuka untuk semua orang.
Dalam kasus lain, saya pernah berjumpa dengan seorang pemuda yang tidak melanjutkan pendidikannya. Mengikuti kebiasaan, saya bertanya; "Mengapa kamu tidak melanjutkan pendidikanmu dan memilih bekerja?" Dia enggan menjawab, tetapi saya bersikeras dengan pertanyaan saya kepada pemuda yang memang memiliki pekerjaan yang lumayan bagus itu. Dengan logat Masyhadnya dia akhirnya menjawab; "Pekerjaan ini sudah mendarah daging dan merupakan bagian dari wujud saya." Dalam kasus seperti ini, memang untuk apa memaksanya belajar di universitas, dan orang pasti mengatakan biar saja dia bekerja dan berdagang. Ini tentu saja obyektif dalam melihat persoalan.
Masalah berikutnya ialah menyangkut kegiatan tarbiyah, seperti yang sudah saya singgung. Ada satu tradisi yang merupakan salah satu hasil terbaik di negeri ini sejak kemenangan revolusi Islam. Adalah almarhum Syahid Bahonar -semoga Allah merahmati dan meridhainya- yang meletakkan batu pertama Lembaga Tarbiyah. Sekarang lembaga ini dibubarkan dengan dalih-dalih tertentu. Saya tidak ingin memandang persoalan ini dengan buruk sangka. Tapi yang jelas langkah itu kurang tepat. Dengan alasan bahwa tarbiyah harus dilakukan oleh setiap guru pelajaran apapun dalam kelas, dan ini jangan sampai ditinggalkan, maka mereka lantas menon-aktifkan lembaga ini. Saya sendiri juga percaya bahwa Anda sebagai guru fisika, matematika, sastera, sosial, dan lain sebagainya, bisa tampil sebagai guru agama, akhlak, dan melakukan tarbiyah untuk murid-murid Anda. Seorang guru matematika ketika sedang mengajar ilmu ini bisa saja menyampaikan kalimat-kalimat yang dapat membekas dalam lubuk hati siswanya. Ini juga merupakan kewajiban yang harus diperhatikan oleh setiap guru.
Kepada hadirin yang mulia di sini dan kepada semua guru di bidang apa saja, saya ingin berpesan bahwa tarbiyah adalah bagian dari tugas dan pekerjaan Anda. Dengan pengaruh Anda sebagai guru dan dengan adanya ikatan emosional antara murid dan guru, betapa baiknya jika pengaruh ini digunakan untuk memberikan pencerahan dalam jiwa para siswa. Bukan tidak mungkin Anda selaku guru matematika atau sastera, atau guru kelas satu atau dua sekolah dasar menyampaikan seuntai ayat atau sepatah hadits dan berkisah tentang kiamat, masalah ruhani, pendekatan diri dan kecintaan kepada Allah. Ini dapat membentuk kepribadian siswa dan akan lebih efektif daripada bicara 100 jam pada kesempatan-kesempatan lain.
Pada porsinya sendiri, ini memang penting dan merupakan tugas. Namun, ini bukan berarti menafikan keharusan akan adanya institusi tertentu dalam Dinas Pendidikan dan Tarbiyah, karena ia merupakan lembaga yang memiliki komitmen pasti, bertanggungjawab, dan konsentrasi pada masalah tarbiyah. Tanpa tarbiyah, pendidikan tidak akan ada gunanya. Pendidikan tanpa tarbiyah malah bisa menjadi bencana bagi masyarakat manusia seperti yang kini dirasakan oleh masyarakat Barat setelah sekian ratus tahun. Dan dampaknya kelihatan bukan setelah 10 atau 20 tahun kemudian, melainkan hanya dalam sekejap mata muncul satu generasi yang loyo dan tidak bisa diapa-apakan lagi. Akan ada satu generasi yang mematahkan asa. Tentang ini saya memiliki banyak data, tapi bukan waktunya untuk dikemukakan di sini.
Di sebagian tempat pernah saya bicara soal ini dan tentang adanya pengakuan-pengakuan secara tegas dan terus terang. Jangan anggap ini hanyalah kata-kata yang kita kemukakan dari jauh di tempat kita duduk di sini. Ini adalah pengakuan mereka sendiri dan merupakan introspeksi diri yang dilakukan oleh mereka sendiri. Bencana ini terjadi di Barat serta menjadi ibarat banjir yang menghancurkan rumah-rumah di sana. Beginilah ilmu jika tak bergandengan dengan tarbiyah, jika ilmu pengetahuan berkembang pesat di tengah masyarakat tanpa dibarengi dengan tarbiyah. Contohnya banyak; bom atom, tipu daya politik, manipulasi, monopoli dan kolusi ekonomi, yang masing-masing merupakan kisah tersendiri yang muncul dari ironisme tersebut. Dan masalahnya yang krusial adalah hilangnya generasi manusia. Atas dasar ini, tarbiyah adalah masalah yang sangat prinsipal. Tarbiyah bisa ditindak lanjuti melalui dinas cabang serta diorganisasikan dengan baik, kuat, efektif, dan jangan hanya sekedar formalitas.
Masalah penting lainnya adalah pemberantasan buta huruf. Masalah buta huruf harus kita bersihkan dari negeri ini. Kita masih melihat di sebagian daerah ada anak-anak kecil usia wajib belajar tetapi tidak bersekolah. Ini sangat berbahaya dan buruk sekali. Harus dilakukan upaya-upaya kongkret dalam menerapkan usia wajib belajar. Memiliki ijazah sekolah dasar mesti diwajibkan seperti orang wajib memiliki KTP dan SIM. Ini adalah masalah penting yang juga masih kurang mendapat perhatian. Minimnya perhatian ini terkadang bisa disalah gunakan di sebagian wilayah negara ini. Anak-anak kecil harus disalurkan melalui kanal-kanal pendidikan dan tarbiyah. Mereka harus menghabiskan masa kanak-kanaknya di situ. Setelah itu terserah mereka mau apa.
Dinas Pendidikan dan Tarbiyah serta lembaga Gerakan Melek Huruf harus duduk bersama dan membuat ketetapan. Misalnya, warga di bawah usia 50 tahun atau 55 tahun atau 60 tahun ditetapkan jangka waktu tertentu, misalnya lima tahun, untuk dapat melek huruf. Ini berlaku secara mutlak di seluruh pelosok negeri ini. Mereka yang melebihi usia tersebut tidak terlalu berkewajiban, tapi jangan sampai dibiarkan begitu saja. Sedangkan yang bawah usia itu, baik pria maupun wanita, harus bisa melek huruf agar buta huruf bersih dari negara kita ini.
Sebagian besar tema yang ada dalam pikiran saya sudah saya utarakan. Saya yakin generasi kita sekarang, serta generasi yang sebagian diantaranya mengalami revolusi, mengalami era pertahanan suci, atau ikut merasakan sebagian dari kondisi saat itu adalah generasi yang memiliki potensi yang sangat besar. Banyak pekerjaan yang bisa dilakukan oleh generasi ini. Kita merasakan nafas hangat Imam Khomeini berada di balik semua pekerjaan kita. Tekadnya yang teguh, tatapannya yang bernuansa Ilahiah dan sarat akan hikmah dalam memandang persoalan negara dan masyarakat sampai sekarang masih hidup di tengah kita. Sumpah setia kita kepada Imam dan revolusi Islam harus kita jaga. Melanggar sumpah setia kepada Imam, revolusi, dan Republik Islam hanya akan mencelakakan diri sendiri. Allah SWT berfirman:

فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

"Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar." (Q.S.48.10)
Janji setia ini harus kita jaga. Berkat sumpah setia generasi baru kita sekarang -negara kita memang penuh dengan para pemuda yang giat dan bersemangat- banyak pekerjaan besar yang dapat kita lakukan. Contohnya adalah energi nuklir yang akhirnya membuat kita menjadi pusat perhatian khalayak dunia. Memang, ada politisi-politisi dunia yang menebar propaganda buruk tentang kita, tetapi Anda dapat melihat banyak bangsa lain memuji kita. Sudah banyak perundingan dilakukan, baik di Badan Energi Nuklir Internasional (IAEA) maupun di forum-forum politik. Kita melihat bagaimana bangsa Iran mendapat pujian dan dikagumi karena kegigihannya ini, karena dahaganya yang kuat akan iptek, dan karena tekadnya yang teguh dalam membela kehormatan nasionalnya. Semua laporan yang kita miliki menunjukkan fakta ini. Ini hanya sekedar contoh.
Dari seribu orang, tak akan ada satu pun yang percaya seandainya 20 tahun silam ada orang mengatakan bahwa kelak para pemuda Iran -tanpa harus sekolah di luar negeri- bisa menimba ilmu secara sporadis serta melakukan berbagai aktivitas dan kreativitas sendiri sehingga mampu membuat sentrifugal, memperkaya uranium, dan mengubah uranium menjadi energi listrik. Orang yang pertama kali akan menolak ramalan ini justru para pakar dan akademisi sendiri. Mereka pasti mengatakan mana mungkin ini bisa terjadi!? Ini bukan main-main! Tetapi bangsa Iran telah membuktikan kemampuannya. Di bidang-bidang lain pun juga demikian. Yang satu ini bangsa Iran telah membuktikan kemampuannya kepada dunia. Bangsa Iran memiliki potensi serta minat yang besar dalam semua bidang. Tak hanya itu, bangsa ini juga memiliki keberanian yang luar biasa untuk terjun ke gelanggang apa saja. Dan jelas ini adalah hak kalian. Terlaknat orang yang mencoba menistakan hak ini.
Inilah makna dari pembaharuan dan inovasi yang saya singgung. Bangsa ini harus maju ke depan dengan inovasi, kreativitas, dan tekad para pemuda kita, bangsa kita, pemikir dan intelektual kita, termasuk Anda masyarakat guru. Insya Allah kita mendapat pertolongan dari-Nya.
Ilahi, curahkan pertolongan dan taufik-Mu kepada bangsa ini. Ilahi, jadikan hati Imam Wali ‘Asr kami rela atas perilaku, niat, perbuatan, dan tindakan kami. Ilahi, lipat gandakan semangat bangsa Iran dari hari ke hari.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

700 /