Sekitar 150 pemikir, cendekiawan, intelektual, dosen, guru hauzah, peneliti dan penulis, Selasa malam (13/11) bertemu dengan Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei dalam seminar Pemikiran Strategis Republik Islam Iran Keempat. Seminar kali ini membahas berbagai dimensi kebebasan. Pertemuan tersebut diawali dengan pembacaan ringkasan makalah tentang kebebasan yang disampaikan oleh 10 pemikir dan cendekiawan.
Di awal pembicaraan pada seminar ini, Rahbar menjelaska n kondisi umum Iran dan kesulitan ekonomi yang disebabkan oleh konfrontasi kubu arogansi dunia terhadap Republik Islam Iran. Beliau mengatakan, "Yang jelas tak ada seorangpun yang melupakan kondisi umum kehidupan rakyat. Tapi pertemuan ini digelar karena pentingnya tema pembahasan dan sesuai dengan apa yuang sudah dijadwalkan sejak lama. Selain itu, pertemuan ini diharapkan bisa menjadi satu langkah untuk menindaklanjuti progam-program jangka panjang."
Menyinggung kebutuhan mendesak negara ini kepada pemikiran sebagai salah satu bagian dari konsep infrastruktural, Rahbar mengungkapkan bahwa hal itu menjadi salah satu tujuan dan alasan utama untuk menggelar pertemuan-pertemuan strategis. Beliau menambahkan, "Bangsa Iran yang terus bergerak maju laksana sungai yang deras ini sangat memerlukan pemikiran dan aktifasi pola pikir dalam konsep-konsep dasar dan fondasionalnya ."
Ayatollah al-Udzma Khamenei menyatakan bahwa tujuan lain dari penyelenggaraan seminar pemikiran strategis adalah untuk menjalin hubungan langsung dengan kaum cendekia dan membuka jalan untuk mencari solusi dan jawaban yang tepat terkait isu-isu fondasional dan kehidupan sosial. Selain itu, seminar seperti ini akan menjadi langkah awal untuk membuat jaringan pemikiran yang mendalam dan luas.
Beliau mengatakan, "Pekerjaan inti harus dilaksanakan setelah pertemuan-pertemuan ini. Para peneliti dan kaum cendekia cemerlang di lingkungan hauzah dan universitas yang tak ubahnya bagai mata air pemikiran yang memancar deras mesti menindaklanjuti tema-tema yang sudah dibahas."
Seraya menjelaskan kevakuman besar dan kurangnya pemahaman di negara ini terkait konsep kebebasan dengan berbagai dimensinya, Pemimpin Besar Revolusi Islam mengungkapkan, "Di Barat , pembahasan seputar isu kebebasan dalam beberapa abad terakhir adalah tema yang menyedot perhatian lebih besar dari masalah-masalah lainnya. Faktor yang mendasari hal itu secara umum adalah rangkaian peristiwa yang memancing kemunculan badai pemikiran di Barat terkait masalah kebebasan."
Beliau menyebut renaissance, revolusi industri, revolusi besar Prancis, dan revolusi Oktober di Rusia sebagai peristiwa-peristiwa dan faktor utama yang memicu lahirnya gelombang pemikiran yang luas dalam masalah kebebasan di Barat.
"Berbeda dengan Barat, sebelum Revolusi Konstitusi, kita tak pernah menyaksikan kondisi yang memancing lahirnya gelombang pemikiran yang berhubungan dengan kebebasan. Kondisi yang ada dan merupakan kekurangan besar adalah tindakan kaum cendekia masa itu yang hanya mengikuti tren pemikiran Barat dan tidak mampu melahirkan isu kebebasan," kata beliau.
Masih terkait masalah ini, Rahbar menandaskan, "Ketika Anda mengambil ilmu atau motivasi dari orang lain, jika Anda melakukannya dengan pikiran maka apa yang Anda lakukan akan melahirkan pemikiran. Tetapi ketika Anda mengadopsi pemikiran yang khas dari suatu tempat lalu mengikutinya secara membabi-buta maka yang Anda lakukan tak akan melahirkan pemikiran. Karena itulah, tindakan kaum intelektual tempo dulu yang hanya mengikuti pemikiran Barat dalam masalah kebebasan, setelah era Konsitusional tidak pernah melahirkan ide yang cemerlang dan pemikiran baru yang tertata rapi."
Menyinggung banyaknya sumber literatul dalam khazanah kepustakaan Islam terkait masalah kebebasan, beliau mengatakan, "Meski ada khazanah yang berlimpah, tapi kita tetap merasakan kevakuman yang besar dalam pembahasan masalah kebebasan. Karena itu, dengan membangun pemikiran dan menjawab semua persoalan yang ada dalam masalah kebebasan kita mesti bergerak ke arah penataan pemikiran."
Ayatollah al-Udzma Khamenei menekankan,, "Terwujudnya target ini menuntut usaha yang serius dan penguasaan atas sumber-sumber khazanah literatur Islam dan Barat."
Mengenai tema pembahasan seminar ini, beliau menandaskan, "Yang dimaksud dengan kebebasan adalah makna yang dipahami secara luas di lingkungan kampus dan kalangan intelektual dunia, yakni kebebasan individu dan sosial, bukan kebebasan spiritual dan perjalanan ruhani menuju Allah."
Mengkritisi pandangan yang menganggap kebebasan sebagai keterlepasan dari segala batasan, Pemimpin Besar Revolusi Islam menjelaskan, "Saat membahas tentang kebebasan, jangan sampai kita takut membicarakan batasan-batasannya."
Beliau menegaskan bahwa dalam masalah kebebasan yang kita cari adalah pandangan Islam. Menurut beliau perbedaan paling urgen antara pandangan Islam dan Barat dalam masalah kebebasan terletak pada landasan pemikiran keduanya terkait masalah ini.
"Dalam pemikiran liberalisme, asas yang melandasi kebebasan adalah pola pandang yang memandang manusia sebagai segalanya atau yang dikenal dengan istilah humanisme. Sementara dalam Islam, asas kebebasan adalah tauhid yang berarti keimanan kepada Allah dan pengingkaran terhadap thaghut," kata beliau.
Ditambahkannya, dalam pandangan Islam, tidak ada yang mengikat kebebasan manusia kecuali penghambaan kepada Allah Swt.
Ayatollah al-Udzma Khamenei menyebut kemuliaan manusia sebagai satu lagi asas kebebasan dalam perspektif Islam. Lebih lanjut beliau memaparkan masalah kebebasan yang merujuk kepada sumber-sumber utama Islam dengan menyebutkan empat perkara ‘haq dalam al-qur'an', ‘haq dalam fikih dan hukum', ‘taklif atau tanggung jawab', dan ‘sistem normatif'.
Rahbar mengatakan, "Al-Qur'an menyebut kata haq dengan makna kelompok yang tertata rapi dan berarah. Berdasarkan makna ini, alam penciptaan dan pengaturan atau tasyri' keduanya adalah haq. Kebebasan manusia juga haq yang berarti kebenaran. Haq di sini adalah lawan kata dari batil."
Mengenai kebebasan dari sudut pandang haq dalam fikih dan hukum beliau menerangkan bahwa kebebasan ini berarti mewujudkan keseimbangan untuk menuntut. Sementara untuk kebebasan yang berkaitan dengan sudut pandang taklif, manusia harus mengupayakan kebebasan diri sendiri dan orang lain.
Di akhir pembahasan dan setelah menjelaskan beberapa perbedaan substansial dan mendalam terkait masalah kebebasan antara pandangan Islam dan Barat, Ayatollah al-Udzma Khamenei mengajukan satu pertanyaan, "Apakah kita bisa merujuk kepada pandangan Barat dalam membahas dan mengkaji tema kebebasan?"
Sebelum menjawab pertanyaan itu, beliau menyebutkan beberapa contoh dan realitas kebebasan yang ada di tengah masyarakat Barat, diantaranya ‘kebebasan di bidang ekonomi' yang didapat saat bergabung bersama kelompok konglomerat dan berhasil menikmati berbagai fasilitas khusus, ‘kebebasan di ranah politik' dalam lingkup yang hanya dibatasi oleh keberadaan dua partai, dan ‘kebebasan dalam masalah moral' dengan munculnya berbagai penyimpangan seperti homoseksualitas, yang kesemua itu adalah hasil dari kebebasan di tengah masyarakat Barat.
"Semua contoh itu menunjukkan realita yang sangat buruk, getir, dan terkadang menjijikkan di tengah masyarakat Barat. Fenomena inilah yang melahirkan diskriminasi, arogansi, pengobaran perang, dan kebijakan tebang pilih dengan mengusung jargon-jargon yang dipandang sakral seperti hak asasi manusia dan demokrasi," kata beliau.
Pemimpin Besar Revolusi Islam lebih lanjut menegaskan, "Dengan segala fenomena yang menyakitkan itu akan sangat bermanfaat jika kita merujuk pandangan para pemikir Barat dalam masalah kebebasan. Sebab, orang-orang Barat punya pengalaman panjang dalam menata pemikiran terkait kebebasan dan beragam pandangan yang berhubungan dengannya."
Meski demikian beliau mengingatkan, "Untuk merujuk kepada pandangan para pemikir Barat syarat utamanya adalah menghindari cara pandang taqlid buta. Sebab sikap mengekor bertolak belakang dengan kebebasan."